SOLOPOS.COM - Ilustrasi buruh pabrik. (Freepik.com)

Solopos.com, SEMARANG — Serikat pekerja atau buruh yang tergabung dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah (Jateng) angkat bicara terkait kabar tiga perusahaan dalam negeri yang menindahkan pabrik dari Banten ke Jateng. Mereka pun berharap kepindahan pabrik ke Jateng itu harus dibarengi dengan sistem pengupahan yang tidak menyengsarakan para pekerja atau buruh.

Selama ini, Jateng memang menjadi magnet investasi bagi perusahaan dalam negeri maupun luar negeri. Selain karena iklim investasi yang dianggap bagus, sistem pengupahan buruh atau pekerja di Jateng juga tergolong murah.

Promosi BRI Perkuat Kolaborasi Strategis dengan Microsoft Dorong Inklusi Keuangan

Hal itu mengacu dari Upah Minimum Provinsi (UMP) Jateng yang tergolong paling rendah di antara 34 provinsi di Indonesia. Bahkan UMP Jateng pada tahun 2022 lalu hanya Rp1.813.011, lebih rendah dibanding UMP Banten yang mencapai Rp2.501.203,11.

Sekretaris KSPI Jateng, Aulia Hakim, menilai sistem pengupahan yang mengedepankan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law melalu PP 36/2021 dirasa sangat menyengsarakan buruh. Ia pun berharap sistem upah semacam itu tidak digunakan perusahaan yang akan merelokasi atau memindahkan pabrik ke wilayah Jateng.

“Tiga pabrik ini pasti akan pakai aturan Omnibus Law. Aturan itu membuka peluang sistem perbudakan moder, karena segala aturan terkait upah buruh langsung diserahkan ke pasar. Pengusaha bisa menentukan sendiri. Jadi, kalangan buruh yang babak belur. Ini jadi yang berat, apalagi tahun depan diprediksi masuk resesi global,” jelas Aulia, Selasa (15/11/2022).

Baca juga: 3 Pabrik asal Banten Pindah ke Jateng, Apindo: Harga Tanah Lebih Murah

Aulia pun mendorong agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng memberlakukan sistem pengupahan berdasarkan klaster pabrik yang berorientasi pada pasar lokal dan ekspor. Menurutnya, negara harus hadir melindungi para pekerja atau buruh agar tidak terjerat pada sistem upah murah.

“Harusnya upahnya diatur ulang. Contoh upah buruh untuk pabrik padat karya dan pabrik padat modal perlu dipisahkan. Kalau orientasinya ekspor ya sesuaikan sama upah komponen barang yang diekspor. Pabrik jangan hanya mengejar upah rendah tapi dapat hasil yang besar. Negara harus kuat melawan kepentingan. Kalau ada perusahaan menghisap pekerja, pemerintah harus bisa memberikan proteksi,” tegas dia.

MoU

Lebih lanjut, Aulia menantang Pemprov Jateng agar berani mengambil sikap dengan mengajak tiga pemilik perusahaan yang akan mereloakasi atau memindahkan pabrik dari Banten ke Jateng untuk menandatangani nota kesepahaman atau MoU guna mengatur sistem pengupahan bagi buruh. Tujuannya, agar ketiga perusaan itu tidak lagi memakai sistem kerja kontrak.

Baca juga: Industri Manufaktur Jateng Melemah, Apindo: Pabrik Mulai Rumahkan Karyawan

“Kita sendiri sudah menganalisa dan mendata perusahaan dari Banten yang masuk ke Jateng. Terutama ke Brebes, Boyolali, Jepara. Pengusaha memang membuat alasan bahwa faktornya adalah upah yang rendah. Nah, tugas pemerintah harusnya lebih bijak. Kita sudah bicara langsung dengan Pak Ganjar, berani enggak Jateng ambil sikap tegas bikin MoU dengan pengusaha supaya tidak lagi memakai sistem kerja kontrak dan bisa menentukan sendiri batasan upah di atas rata-rata,” sambung dia.

Aulia juga menyarankan kepada para buruh yang masih bekerja saat ini supaya terus meningkatkan kapasitas keahlian di segala bidang. Tujuannya agar tercipta SDM yang unggul dan mampu menentukan besaran upah yang diterima.

“Setiap pekerja atau buruh setidaknya bisa meningkatkan kualitas keahliannya. Karena peningkatan keahlian bisa menaikan taraf hidup sekaligus menambah daya tawar terhadap perusahaan tempatnya bekerja,” tutup dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya