SOLOPOS.COM - Warak Ngendog, akulturasi budaya asal Kota Semarang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) nasional. (Antara/Aji Styawan)

Solopos.com, SEMARANG — Proses akulturasi yang terjadi di Indonesia, pada awalnya semua berawal dari perdagangan. Begitu juga akulturasi etnis Tionghoa yang berkembang di Semarang, Jawa Tengah.

Wilayah Mangkang, Semarang Barat, tepatnya di Desa Ngaliyan menjadi awal mula perkembangan budaya masyarakat Tionghoa di Semarang. Pada masa lampau, Mangkang menjadi pusat kawasan industri dan pabrik yang menyediakan banyak kebutuhan seperti makanan, tekstil, logam, dan kebutuhan sehari-hari.

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

Dalam buku berjudul Kota Semarang Dalam Kenangan karya Jongie Tio, saat itu mulai banyak warga etnis Tionghoa yang masuk ke pedalaman dan membuat permukiman seperti di wilayah Kranggan, Damaran, dan Petudungan. Etnis Tionghoa juga ikut membaur bersama warga pribumi di Kota Semarang seperti Jeruk Kingkit, Ambengan dan Pandean.

Etnis Tionghoa ini begitu maju di bidang perdagangan, tak heran jika orang Belanda memerlukannya untuk membeli palawijaya di wilayah pedalaman. Bahkan saat itu juga, pemerintah Belanda juga mengangkat seorang Ketua atau Kepala Etnis Tionghoa untuk urusan perdagangan, hingga muncul julukan seperti Lauitenant der Chinesen, Kapten ataupun Mayor. Kapiten der Chinesen yang saat itu begitu ternama adalah Tuan Kwee Kiauw yang merupakan saudagar terkenal, tepatnya pada tahun 1672.

Selanjutnya memasuki abad ke-17, menurut buku yang ditulis warga berkebangsaan Belanda, JH Tops, berjudul Oversich van the Javanche Geschidenis, beberapa orang Tionghoa mendatangkan tukang-tukang dari Batavia untuk membangun rumah. Dulunya rumah tersebut hanya terbuat dari bambu dan anyaman, tetapi kemudian berganti menjadi tembok tebal, dengan ujung atap khasnya.

Membaur

Atapnya berbentuk kotak dan juga sering disebut dengan Sadle Horse, tempat duduk atau pelana kuda di atapnya. Tetapi,saat ini rumah-rumah tersebut sudah mulai berkurang di wilayah pecinan seperti di Pekojan, Gang Baru, Gang Besen, Gang Lombok dan sekitarnya.

Saat itulah etnis Tionghoa dan warga pribumi Kota Semarang mulai membaur. Apalagi beberapa lelaki etnis Tionghoa saat itu tidak diperbolehkan untuk membawa serta istri mereka dari China. Maka, dari situlah muncul etnis Tionghoa yang merupakan keturunan dari penduduk asli Kota Semarang. Tak heran juga, saat itu beberapa wanita keturunan etnis Tionghoa mulai mengenakan kebaya, konde (sanggul) dan mengunyah kinang (daun sirih) layaknya pribumi asli Kota Semarang.

Hal ini juga terjadi demikian pada penerapan bahasa sehari-hari. Banyak kata-kata dari bahasa China yang digunakan untuk pergaulan sehari-hari mereka. Seperti kata-kata cat atau cet (cairan untuk mewarnai) berasal dari kata Hokkian ‘tjhat’. Kemudian kata anglow, tempat api untuk memasak dari tanah liat diberi nama anglo dari kata hanglow dan lain-lainya.

Tak ingin ketinggalan juga, beberapa kuliner atau masakan yang identik dengan bangsa etnis Tionghoa seperti bakso, bakmi, dan tahu. Kemudian dikenal pula makanan seperti kue ku, bakpao, wedang tahu, wedang ronde, kue pia dan salah satu makanan khas Kota Semarang yang sudah mendunia yaitu lumpia. Kemudian makanan lainnya seperti siomay, bihun, misoa, pangsit, kue moho, kue mangkok dan lain-lainya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya