SOLOPOS.COM - Ilustrasi keberadaan Selat Muria (Instagram/@patisakpore)

Solopos.com, DEMAK — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan peristiwa banjir besar yang merendam Demak hingga Kudus tak ada kaitan dengan isyarat kemunculan kembali Selat Muria, berikut fakta-faktanya.

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Eko Soebowo, Rabu (20/3/2024), menjelaskan bahwa banjir yang terjadi murni pengaruh alam akibat kondisi cuaca ekstrem.

Promosi Desa BRILiaN 2024 Resmi Diluncurkan, Yuk Cek Syarat dan Ketentuannya

“Cuaca memang ekstrem dan daerah aliran sungai di wilayah sana tidak mampu menampung volume air hujan yang tinggi karena terjadi sedimentasi,” ujarnya, dilansir Antara.

Eko mengungkapkan kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan menjadi pemicu sedimentasi yang terjadi di sisi selatan.

Bahkan, pengambilan air tanah berlebihan membuat kawasan pesisir pantai utara Jawa mengalami penurunan muka tanah yang signifikan 5 sampai 10 centimeter per tahun.

Bentuk mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengeringkan kembali daratan Demak hingga Kudus adalah pembenahan tata guna lahan. Kawasan konservasi dan kawasan lindung yang dulu dibuka untuk kawasan komersial dan perumahan harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai zona resapan air.

Kegiatan pengambilan air tanah secara berlebihan juga harus dikurangi dengan membangun bendungan yang berfungsi sebagai sumber air bersih bagi masyarakat setempat, seperti Waduk Jatibarang di Semarang dan Waduk Jati Gede di Indramayu.

“Apakah banjir terjadi lautan lagi? Menurut pandangan kami itu tidak akan terjadi. Faktor utama kalau itu (daratan) kembali menjadi selat adalah kenaikan muka air laut,” kata Eko.

Eko juga mengungkapkan aktivitas pembabatan hutan secara besar-besaran yang dilakukan pada era kolonial telah menimbulkan sedimentasi yang menyebabkan Selat Muria menjadi daratan.

“Dulu waktu zaman Belanda pembabatan hutan di sana sangat intens, sehingga menyebabkan erosi. Sedimentasi yang terjadi menyebabkan Selat Muria menjadi daratan,” kata dia.

Eko menjelaskan sejak abad ke-7 sampai sekarang, aktivitas pembabatan hutan maupun erosi terus terjadi di selatan Selat Muria maupun Lereng Gunung Muria. Material dari erosi itulah yang mengisi dataran Selat Muria.

Sedimentasi itu muncul terbawa banjir yang terjadi akibat pembabatan hutan membuat selat semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Jawa menyatu dengan Pulau Muria.

Menurutnya, umur daratan yang tergolong baru akibat proses sedimentasi membuat tanah belum kompak dan belum mengalami pemadatan yang sempurna. Tanah lunak tersebut menyebabkan bangunan menjadi mudah ambles.

“Dulu banjir justru mengisi sedimen di Selat Muria, akhirnya terjadi pendangkalan, sehingga terbentuk daratan,” kata Eko.

Lebih lanjut, dia mengingatkan masyarakat agar bijaksana dalam penggunaan air. Kegiatan pengambilan air tanah yang dilakukan secara berlebihan telah membuat kawasan Demak hingga Kudus mengalami penurunan muka tanah yang parah.

Perubahan iklim yang mencairkan es di kutub utara dan selatan meningkatkan muka air laut dan menjadi ancaman serius yang berpotensi memunculkan kembali Selat Muria.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya