SOLOPOS.COM - Ilustrasi banjir yang melanda Kota Semarang menjelang pergantian tahun. (Solopos.com-Adhik Kurniawan)

Solopos.com, SEMARANG — Bencana banjir yang melanda Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), dalam sepekan terahir, selama sepekan disebut layaknya penyakit komplikasi yang hanya diberi obat aspirin atau penurun panas biasa. Kendati cukup serius, penanganan yang dilakukan pemerintah setempat dianggap masih belum masif.

Hal itu disampaikan pakar dari guru besar ilmu kependudukan dan lingkunga, Saratri Wilonoyudho, Senin (9/1/2023). Saratri mengibaratkan banjir di Kota Semarang seperti penyakit komplikasi, namun penanganannya masih sebatas diberi aspirin.

Promosi Mudah dan Praktis, Nasabah Bisa Bayar Zakat dan Sedekah Lewat BRImo

“Iya, meski banjir di kota Semarang sudah seperti penyakit komplikasi, tapi penyembuhannya masih menggunakan obat penurun panas biasa,” kata Saratri.

Saratri mengibaratkan langkah penanganan yang diambil Pemkot Semarang untuk mengatasi banjir sebagai obat aspirin, hanya sebatas program pompanisasi, perbaikan drainase secara parsiah, pembersihan sungai dan lainnya. Ia pun menyayangkan tindakan pemangku kebijakan setempat yang tidak fokus lebih jauh atau pada penanganan jangka panjang.

“Jadi Semarang seperti orang sakit komplikasi, tapi pola hidup tidak sehat. Minumnya hanya aspirin, ditambah boleh hujan-hujanan, makanya sakitnya makin parah,” jelasnya.

Dosen Fakultas Teknik di Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu menegaskan, Pemkot Semarang harus memperhatikan perubahan tata ruang. Jika hanya mengandalkan pompanisasi, maka penanganannya hanya bersifat sementara.

“Semisal tata ruang tetap dilanggar, mau seberapa banyak pompa yang dibutuhkan untuk mengatasi banjir?,” tanyanya.

Lebih jauh, selain dari segi perubahan tata ruang, penurunan muka tanah juga disebut turut menjadi penyebab banjir di Kota Semarang. Kendati demikian, ia tak memperinci berapa penurunan tanah atau land subsidence di Kota Semarang setiap tahunnya. Meski demikian, masalah penurunan tanah ini membuat air laut selalu naik ke daratan.

“Apalagi benteng mangrove di pesisir kini terus tergerus proyek pembangunan. Pemkot [Semarang] perlu melakukan evaluasi bangunan bisnis di Kota Semarang. Mana saja yang menguras air tanah hingga mengakibatkan penurunan muka tanah kian parah,” jelasnya.

Tak hanya itu, pembangunan drainase saat ini tidak disertai dengan kapasitas yang memadai dan tidak terkoneksi. Sehingga, jaringan drainase tidak saling terhubung ke sungai yang mengakibatkam limpasan air hujan tidak terserap dengan cepat.

“Maka perlu adanya normalisasi, dan penataan drainase,” imbuhnya.

Saratri menyampaikan, penanganan banjir sebenarnya hal sederhana lantaran secara rumus teori, air mencari daerah lebih rendah, baik ke sungai atau ke titik resapan. Pemerintah dapat melakukan simulasi lewat data meliputi data curah hujan, luas resapan, luas terbangun, panjang dan volume sungai dan drainase.

“Jadi nantinya dapat disimpulkan sebenarnya mengapa banjir Semarang dapat terjadi. Disimulasikan, ada datanya semua, tinggal kemauan politiknya saja,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya