SOLOPOS.COM - Meilani Sugiarto alias Cik Me Me, memperagakan teknik melipat adonan lumpia di gerainya, Rabu (28/3/2023). (Solopos.com-Ponco Wiyono)

Solopos.com, SEMARANG – Setiap mendengar kata lumpia, ingatan kita tentu akan langsung tertuju pada makanan khas yang identik dengan Kota Semaarang. Meski begitu, tidak banyak yang tahu jika sejarah lumpia di Kota Semarang itu bermula dari satu nama. Kini, kita bisa menjumpai lumpia dalam aneka merek, salah satunya adalah lumpia Cik Me Me milik Meliani Sugiarto.

Satu yang membuat istimewa, Lumpia Cik Me Me memakai resep pelopor lumpia di Semarang karena kebetulan sang pemilik adalah generasi keturunannya.

Promosi Desa BRILiaN 2024 Resmi Diluncurkan, Yuk Cek Syarat dan Ketentuannya

Meliani menjelaskan, dia masih termasuk keturunan dedengkot lumpia di Kota Semarang yang bernama Tjoa Thay Yoe. Nama ini tak bisa dikesampingkan dari perkembangan sejarah lumpia di Semarang. Lumpia sendiri merupakan makanan hasil kawin silang dari dua kudapan yang dulunya dijajakan pasangan Tionghoa-Jawa, Tjoa Thay Yoe dan Mbok Wasi.

Meliani melanjutkan, sebelum kedua leluhurnya itu menikah, mereka adalah penjual lumpia atau lunpia keliling di gang-gang Kota Semarang dengan membawa ciri khas masing-masing.

Tjoa Thay Yoe asli dari daratan China, tepatnya Provinsi Fu Kien dan datang ke Semarang pada tahun 1800-an.

“Beliau memulai membuka usaha dagang makanan khas China, sejenis martabak berisi rebung dan dicampur daging babi yang digulung dengan rasa asin. Jualannya itu digemari masyarakat keturunan Tionghoa dan Semarang,” ungkap Meliani, Rabu (29/3/2023).

Sementara pada waktu yang sama, seorang perempuan asli Semarang bernama Mbok Wasi juga menjual makanan yang mirip dengan dagangan Tjoa Thay Yoe. Namun bedanya, martabak Mbok Wasih diisi dengan campuran daging ayam cincang, udang dan telur dengan rasa manis.

“Keduanya berdagang secara keliling dari gang ke gang di Kota Semarang tahun 1850-an, tapi tetap saling menghargai, bersaing secara sehat,” lanjut Meliani.

Pernikahan

Kemudian pada tahun 1870 kedua pedagang itu menikah. Dari tangan mereka kemudian muncul jajanan khas Semarang, berupa kudapan hasil akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa yang kemudian dikenal dengan nama lunpia atau lumpia.

Mengingat kebiasaan masyarakat Jawa Semarang yang tidak mengonsumsi daging babi, lumpia mereka yang memakai bahan utama berupa rebung (tunas bambu) kemudian diisi dengan daging ayam dan telur.

“Seiring berjalannya waktu bumbu rempah lainnya juga dimasukkan sampai akhirnya terciptalah lunpia dengan rasa istimewa khas Semarang yang memadukan rasa gurih, asin, dan manis,” sebut Meliani yang memiliki toko besar di Jalan Gajahmada.

Setelah Tjoa Thay Joe meninggal dunia, resep lumpia khas Semarang diwariskan kepada putranya yaitu Siem Gwan Sing. Siem Gwan Sing sebagau generasi kedua lalu menurunkan resep ke generasi ketiga, yakni ketiga anaknya.

Dari anak pertama dari generasi ketiga yakni Siem Swie Nie, muncul merek dagang bernama Lunpia Mbak Lien. Mbak Lien kini memiliki toko lumpia di Jalan Pemuda Semarang. Sementara anak kedua, Siem Swie Kiem, menjual lumpia di Gang Lombok Pecinan dan dagangannya dikenal dengan merek Lunpia Gang Lombok.

Lalu dari anak ketiga Siem Hwa Nio muncul merek Lunpia Mataram. Semua merek dari generasi ketiga masih eksis dan memiliki pasar masing-masing. “Saya sendiri sebagai generasi kelima dari ayah saya, Tan Yok Tjay [dikenal sebagai koki andalan Lunpia Mataram]. Beliau adalah generasi keempat,” jelasnya lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya