Jateng
Selasa, 14 Februari 2023 - 18:23 WIB

Bledug Kuwu Grobogan, Fenomena Kawah Lumpur & Kisah Jalan Pulang Jaka Linglung

Novi Tyas Anggraini  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fenomena Bledug Kuwu Grobogan Jawa Tengah. (Istimewa/visitjawatengah.jatengprov.go.id)

Solopos.com, GROBOGAN — Bledug Kuwu Grobogan merupakan salah satu fenomena alam berupa munculnya semburan air beserta lumpur diperkirakan berasal dari endapan laut purba yang keluar karena tekanan air vertikal. Tampilannya mirip kawah karena semburan lumpurnya disertai asap putih.

Tinggi rata-rata semburan Bledug Kuwu ini mencapai tiga meter. Pada saat tertentu tingginya mencapai 10 meter.

Advertisement

Meskipun terletak jauh dari laut, air dari letupan lumpur itu mengandung garam. Oleh karena itu, sebagian masyarakat memanfaatkannya untuk diolah menjadi garam tradisional.

Fenomena alam yang unik ini telah menarik perhatian masyarakat lokal hingga luar kota. Kini, Bledug Kuwu menjadi objek wisata berupa telaga lumpur hangat yang luasnya kurang lebih 45 hektar.

Objek wisata ini terletak di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan. Lokasinya berjarak kurang lebih 28 kilometer ke arah timur Kota Purwodadi.

Advertisement

Nama Bledug Kuwu sendiri berasal dari gabungan kata Bahasa Jawa yaitu bledug yang berarti ledakan dan kuwu yang merupakan kata serapan dari kuwur, memiliki arti berhamburan.

Menurut sejarah asal-usul nama Bledug Kuwu, yaitu sebuah kawah lumpur (bledug) yang berlokasi di Kuwu. Adapun legenda yang beredar di masyarakat, konon lubang Bledug Kuwu tersebut merupakan jalan pulang Joko Linglung dari Laut Selatan menuju kerajaan Medang Kamulan setelah mengalahkan Prabu Dewata Cengkar.

Melansir dari website resmi Kabupaten Grobogan, pada sekitar abad ke-7 Masehi, daerah Grobogan termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang Kamulan yang diperintah Dinasti Sanjaya/Syailendra.

Salah seorang raja dari dinasti ini adalah Dewata Cengkar, seorang yang konon amat gemar makan daging manusia. Lantaran kesukaan raja yang aneh tersebut, membuat rakyat merasa ketakutan. Mereka tidak ingin menjadi santapan sang raja yang haus darah itu.

Advertisement

Berbagai cara dilakukan untuk melawan sang raja, tetapi semuanya sia-sia. Tak ada yang bisa mengalahkan kesaktian sang raja.

Beberapa waktu kemudian, muncullah Ajisaka, seorang pengembara, yang merasa prihatin dengan penderitaan yang dialami rakyat. Ajisaka pun kemudian berusaha menghentikan kebiasaan sang raja.

Dengan disaksikan ribuan pasang mata, Ajisaka pun menantang adu kesaktian dengan sang raja. Banyak orang yang menyangsikan kemampuan Ajisaka, mengingat tubuhnya yang kecil.

Namun, masyarakat tetap menaruh harapan kepada Ajisaka. Sang raja yang menerima tantangan Ajisaka hanya terbahak-bahak. Raja pun menawarkan keberanian Ajisaka.

Advertisement

Seandainya Ajisaka mampu mengalahkannya, maka Ajisaka berhak memperoleh hadiah berupa separuh wilayah kerajaan. Sebaliknya, jika Ajisaka kalah, raja akan memakan tubuh Ajisaka.

Ajisaka pun menyanggupi semua tawaran sang raja. Adapun permintaan terakhir Ajisaka kepada sang raja, jika dia kalah dan tubuhnya dimakan sang raja, Ajisaka memohon agar tulang-tulangnya nanti ditanam dalam tanah seukuran lebar ikat kepalanya.

Tentu saja sang raja segera mengiyakan dan sama sekali tidak menduga bahwa ikat kepala Ajisaka itu adalah ikat kepala yang mengandung kesaktian.

Ajisaka segera melepas ikat kepalanya dan kemudian menggelarnya di atas tanah. Ajaib, ikat kepala itu berubah menjadi melebar.

Advertisement

Raja Dewata Cengkar menggeser tempat berdirinya. Hal itu berlangsung terus seiring dengan makin melebarnya ikat kepala Ajisaka. Sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur di Laut Selatan.

Namun Dewata Cengkar tidak mati, sebaliknya, tubuhnya menjelma menjadi bajul (buaya) putih. Sepeninggal Dewata Cengkar, rakyat kemudian menobatkan Ajisaka sebagai raja di Medang Kamulan.

Pada saat Ajisaka memerintah Medang Kamulan, muncullah seekor naga yang mengaku bernama Jaka Linglung. Menurut pengakuannya, dia adalah anak Ajisaka dan saat itu sedang mencari ayahnya.

Melihat wujudnya, Ajisaka menolak untuk mengakuinya sebagai anak. Ajisaka pun berusaha menyingkirkan sang naga, tetapi dengan cara yang amat halus.

Kemudian Ajisaka memberi syarat pada sang naga bahwa ia akan mengakuinya sebagai anak jika berhasil membunuh buaya putih jelmaan Dewata Cengkar di Laut Selatan. Akhirnya, Jaka Linglung pun menyanggupi permintaan Ajisaka untuk membunuh Dewata Cengkar.

Jaka Linglung pun segera berangkat. Agar tidak mengganggu ketenteraman penduduk, Ajisaka menyuruh Jaka Linglung agar berangkat ke Laut Selatan lewat dalam tanah. Singkatnya, Jaka Linglung pun sampai di Laut Selatan dan berhasil membunuh Dewata Cengkar.

Advertisement

Jaka Linglung pun kemudian pulang ke Medang Kamolan melalui dalam tanah kembali. Sebagai bukti bahwa dia telah berhasil sampai di Laut Selatan serta membunuh Dewata Cengkar, Jaka Linglung tak lupa membawa seikat rumput grinting wulung dan air laut yang terasa asin.

Beberapa kali Jaka Linglung mencoba muncul ke permukaan karena mengira telah sampai di tempat yang dituju. Kali pertama, dia muncul di Desa Ngembak (kini wilayah Kecamatan Kota Purwodadi), kemudian di Jono (Kecamatan Tawangharjo), selanjutnya di Grabagan, Crewek, dan terakhir di Kuwu (ketiganya masuk Kecamatan Kradenan).

Di Kuwu inilah, konon Jaka Linglung sempat melepas lelah. Tempat munculnya inilah yang kini diyakini menjadi asal muasal munculnya Bledug Kuwu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif