SOLOPOS.COM - Kepala Distanbun Jateng, Supriyanto. (Youtube - Espos Indonesia)

Solopos.com, SEMARANG — Tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok yang terus mengalami kenaikan setiap tahunnya diklaim merugikan bagi petani tembakau, tak terkecuali yang ada di wilayah Jawa Tengah (Jateng). Petani tembakau pun berharap kenaikan cukai hasil tembakau itu turut diimbangi dengan penyediaan fasilitas dan kebutuhan petani.

Selama dua tahun terakhir tarif CHT terus mengalami kenaikan. Bahkan pada tahun 2023 dan 2024 nanti, pemerintah telah memutuskan kenaikan tarif CHT mencapai 10 persen. Keputusan ini pun berlaku untuk golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) dengan tarif berbeda sesuai golongannya.

Promosi Jaga Keandalan Transaksi Nasabah, BRI Raih ISO 2230:2019 BCMS

Pemerintah berdalih kenaikan cukai rokok itu dilakukan untuk mengendalikan produksi dan konsumsi rokok. Dengan kenaikan itu, pemerintah berharap keterjangkauan masyarakat membeli rokok menjadi turun.

Namun ketika CHT naik, pabrik pun akan berhitung, mengatur strategi, yang berujung pada pengurangan jumlah serapan tembakau dari petani. Apalagi, selama ini SKT yang menyerap paling banyak tembakau dan cengkeh dari petani.

Kondisi ini pun membuat petani tembakau dan cengkeh, tak terkecuali di Jateng, merasakan dampak secara langsung dari kebijakan naiknya tarif cukai rokok itu.

Dalam video yang disiarkan kanal Youtube Espos Indonesia dengan judul Cukai Melambung Tinggi Petani Paling Rugi, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Jateng, Supriyanto, menilai cukai yang semakin naik bukan menguntungkan petani, tapi menekan harga jual dari petani. Menurutnya, naiknya cukai tidak mengambil keuntungan dari perusahaan rokok, melainkan membuat harga jual tembakau daari petani semakin sulit. Apalagi, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) di wilayah Jateng mencapai Rp54 miliar pada tahun 2023.

“Sebetulnya itu [kenaikan tarif cukai hasil tembakau] merupakan hal baik dalam kerangka untuk membiayai pembangunan, cuma permasalahan kemudian kalau itu hanya sebagian kecil yang masuk kembali ke petani,” ujarnya.

Menurut Supriyanto, nilai bantuan perluasannya memang tidak signifikan karena penggunaan dana hasil tembakau atau DBHCT tidak hanya terkait dengan budidaya pemasaran dan tembakaunya. Melainkan ada hal yang lain.

Dia menjelaskan jika sarana prasarana, kemampuan sumber daya manusia tidak dijaga, maka pasar juga tidak terjaga. Kondisi ini pun memberikan dampak akan munculnya banyak produk tidak berkualitas dengan harga yang tidak masuk akal, terlebih saat cukai mengalami kenaikan.

“Harapannya, jadi juga untuk petani jangan hanya sekadar mengandalkan bantuan. Adanya pelatihan-pelatihan dari pemerintah yang biasanya berupa langsung praktik lapangan, biar mereka paham benar bukan hanya sekadar teori,” ujarnya.

Sementara itu, petani tembakau Klaten, Juwandi, mengatakan dampak dari cukai yang naik terus menerus akan berdampak pada bahan baku pada petani tembakau yang ditekan. Juwandi berharap pemerintah dapat memfasilitasi segala kepentingan yang dibutuhkan oleh tembakau yang diinginkan oleh perusahaan.

“Kalau pun kemudian dipaksakan [tarif cukai rokok] naik, jangan memberatkan salah satu pihak. Petani dan perusahaan harus saling bersinergi, misal petani tembakau butuh ini, ya pemerintah melakukan pengadaan seperti itu [yang diinginkan petani],” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya