SOLOPOS.COM - Ritual tolak bala di petilasan Raden Kamandaka saat aktivitas vulkanik Gunung Slamet menggelora (Sumber: Liputan6.com)

Solopos,com, BANYUMAS Pada 2014 silam, aktivitas vulkanik Gunung Slamet kembali naik hingga menyemburkan abu vuklanik tertinggi sejak berada dalam status Waspada. Konon, erupsi yang terjadi di Gunung Slamet ini berkaitan dengan kondisi negara, khususnya situasi politik.

Dilansir dari Liputan6.com, Selasa (23/11/2021), tercatat sebanyak tiga kali letusan dengan ketinggian mencapai 2 km dari sebelumnya yang hanya 1000 hingga 1,200 meter. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), letusan Gunung Slamet yang terjadi pada Rabu, 19 Maret 2014 ini berlangsung hingga enam jam, mulai dari 06.00 WIB hingga 12.00 WIB.

Promosi Kisah Petani Pepaya Raup Omzet Rp36 Juta/bulan, Makin Produktif dengan Kece BRI

Selama enam jam tersebut, terjadi tiga kali letusan yang mengeluarkan material vulkanik beruba debu. Akibat letusan ini, zona rawan bahaya dalam cakupan radius 2 kilometer dari puncak Gunung Slamet ditutup.

Meskipun Gunung Slamet dilanda erupsi, masyarakat sekitar di kawasan lereng Gunung Slamet tetap melakukan serangkaian ritual sebagai bentuk tolak bala. Seperti yang dilakukan tetua bernama Mbah Slamet Samsuri yang mengadakan ritual di tempat petilasan Ksatria Kamandaka yang ada di Kecamatan  Baturraden, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.  Mbah Samsuri merupakan salah satu juru kunci spiritual Gunung Slamet. Selain Mbah Samsuri, ada juru kunci spiritual lainnya yang tersebar di sekitar gunung.

Baca Juga: Asale Gunung Slamet, Berawal dari Doa

Ritual Tolak bala

Ritual ini digelar saat Gunung Slamet berada di level Siaga III pada 5 April 2014 silam. Mbah Samsuri merupakan tokoh yang dituakan sekaligus sebagai tokoh spiritual bagi warga Kecamatan Baturraden, tepatnya di Desa Kemutung Lor. Setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, dia bersama sang istri selalu melakukan ritual untuk memohon keselamatan dari bencana.

Dalam ritual ini, sang istri biasanya mempersiapkan ‘sesambetan’ yang terdiri dari bawang merah, jahe, bangle, kunyit, kencur dan dringo yang ditumbuk. Dalam ritual ini juga disajikan kembang tujuh rupa, bubur merah, kopi manis, kopi pahit, minyak wangi, kacang, permen dan air putih yang digabung bersamaan dengan ‘sesambetan’ yang terbuat dari tumbukan rempah-rempah. Nantinya, persembahan ini dibawa ke petilasan Ksatria Kamandaka sebagai media penyembahan.

Erupsi Gunung Slamet

Sebagai tokoh kebatinan Jawa, aktivitas vulkanik Gunung Slamet memiliki keterkaitan dengan keadaan negara, terutama terkait panasnya suhu politik. Mbah Samsuri juga mengungkapkan erupsi Gunung Slamet yang terjadi pada 2014 ini bukanlah yang terbesar dan dia juga percaya bahwa letusan Gunung Slamet tidak akan separah seperti Gunung Merapi dan Gunung Kelud karena hanya sebatas ‘batuk’ dan ‘bersendawa’ saja yang dia nilai sama dengan perisitiwa letusan pada 1978,1981,1987,dan 2009.

Baca Juga: Catatan Erupsi Gunung Slamet — Prediksi Letusan Dahsyat

Mbah Samsuri juga percaya bahwa Gunung Slamet adalah tempat tinggal leluhur orang Jawa, yaitu Mbah Renti Atasangin, Tapakangin, Semput dan Brantayudha. Kelimanya dipercaya merupakan simbol lima unsur kehidupan, seperti air, api, angin, tanah dan kayu. Maka untuk menjaga hubungan antara manusia dengan gunung, dia selalu melakukan ritual tersediri, apalagi saat Gunung Slamet menunjukan aktivitasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya