SOLOPOS.COM - Pemutaran film dokumenter NYAS, produksi mahasiswa Fiskom UKSW sebagai tugas akhir berbasis talenta merdeka di Asrama Mahasiswa Papua, Mansinam Salatiga. (Istimewa/UKSW Salatiga)

Solopos.com, SALATIGA — Memvisualisasikan kisah sekelompok remaja yang ingin melepas stigma masyarakat sebagai pengguna lem aibon mengantarkan Alfius Heldian Msiren lulus sebagai sarjana sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (Fiskom) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.

Film dokumenter berdurasi 21 menit ini diluncurkan pekan lalu melalui pemutaran perdana di Asrama Mahasiswa Papua Mansinam, Salatiga.

Dosen pembimbing, Dr. Ir. Sri Suwartiningsih, M.Si., menuturkan produksi film dokumenter berjudul NYAS ini merupakan perwujudan tugas akhir berbasis talenta merdeka yang dicanangkan UKSW.

“Mahasiswa tidak diharuskan menulis skripsi sebagai tugas akhir untuk kelulusannya, namun dapat melalui karya yang dihasilkan,” jelasnya, Sabtu (20/5/2023).

Lebih lanjut, Dr. Ir. Sri Suwartiningsih mengisahkan gambaran film ini adalah kehidupan remaja yang ingin mengubah stigma masyarakat kepada remaja mantan pengguna lem aibon.

Sekelompok remaja berusaha melepaskan stigma NYAS melalui karya dengan membentuk grup vokal Barakas yang memiliki arti berkat. Grup vokal inilah yang menjadi titik balik perubahan anak-anak mantan penghirup lem aibon ini.

Ditambahkannya, film ini diproses Alfius Heldian Msiren sejak mengikuti magang dan praktek lapangan melalui metode kaji tindak yang dilakukan selama dua tahun mulai tahun 2021.

Dua teori yang menjadi dasar untuk mengetahui dan mengungkapkan informasi sekelompok remaja tersebut adalah teori communication privacy management (CPM) dan teori perubahan sosial.

Dr. Ir. Sri Suwartiningsih mengatakan ada beberapa hal yang akan dilakukan sebagai tindak lanjut peluncuran film dokumenter ini sebagai proses pengajuan hak cipta.

Diskusi dengan beberapa orang dari unsur pemerintah, gereja, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menolong anak Papua lepas dari kecanduan lem aibon juga akan dilakukan ke depan. Alfius sendiri akan pulang ke Papua untuk meneruskan program tersebut.

Melalui film dokumenternya, Alfius Heldian Msiren mengungkapkan stigma masyarakat mengenai anak-anak aibon ini bukan merupakan hal baru dalam masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa bertambahnya jumlah anak aibon disebabkan banyak faktor.

Salah satunya, yaitu faktor lingkungan di mana kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak mendukung untuk bertumbuh dan berkembang serta kesempatan mendapatkan pelajaran yang baik.

“Namun melalui film ini, kita dapat belajar dari fenomena yang ada dalam masyarakat untuk mengambil makna bahwa siapa saja dapat memperbaiki kesalahan dan meraih cita-cita. Dukungan, perhatian, dan cara pandang yang positif adalah hal yang mendorong kemajuan seseorang dalam menggapai impiannya,” imbuhnya.

Pemutaran film dokumenter ini dihadiri oleh sesepuh mahasiswa Papua, John R. Lahade dan sejumlah mahasiswa Papua dari Fiskom, Fakultas Teknologi Informasi (FTI), Fakultas Hukum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Fakultas Pertanian dan Bisnis (FPB), serta Fakultas Teologi.

Sejumlah mahasiswa asal Papua dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Parahyangan juga turut menghadiri acara ini. Film dokumenter ini diproduksi di Kompleks Fandoy, Keluarga Fandoy, Kecamatan Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua.

Rekomendasi
Berita Lainnya