SOLOPOS.COM - Tradisi unik yang dimiliki masyarakat Dukuh Kebuk Kidul, Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (9/7/2023). Dalam Haul Leluhur itu bertujuan mengurangi sampah plastik. (Istimewa/Juru Kunci Makam)

Solopos.com, JEPARASampah plastik masih menjadi permasalahan yang berlarut-larut hingga masa kini, tak terkecuali di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng).

Namun, ada tradisi unik yang dimiliki masyarakat Dukuh Kebuk Kidul, Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri Jepara, yakni Haul Leluhur. Dalam tradisi itu, warga diedukasi menjaga lingkungan sekitar.

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

Dari informasi yang dihimpun Solopos.com, Haul Leluhur adalah tradisi unik untuk mengurangi penggunaan plastik. Warga menggunakan bahan-bahan alami sebagai wadah makanan dalam acara Haul Leluhur.

Lebih jauh, bagi masyarakat sekitar, tradisi Haul Leluhur lebih sering disebut dengan nama Manganan yang bermakna selamatan sekaligus makan bersama di Makam Mbah Surojoyo. Ia merupakan tokoh sekaligus leluhur yang diyakini masyarakat sebagai cikal bakal adanya Dukuh Kebuk Kidul.

Lebih dari 2.000 orang dari Dukuh Kebuk Kidul dan dukuh-dukuh tetangga tumplek blek di area makam pada Minggu (9/7/2023) pagi. Mereka dengan semarak mengarak imitasi kereneng atau keranjang yang terbuat dari bambu mengelilingi desa.

Dua buah kereneng raksasa memimpin rombongan masyarakat. Imitasi Kereneng itu berisi nasi yang terbuat dari styrofoam dan lauk-pauk dari kayu yang dihancurkan.

Sementara di area makam, kaum ibu sibuk memasak nasi dan beragam lauk-pauk yang disuguhkan kepada peziarah yang datang dari berbagai desa, bahkan luar kota. Tak terlihat wadah makanan dari plastik. Mereka menggunakan daun jati dan kereneng.

Juru kunci makam, Ngateno, mengatakan kereneng sendiri memiliki makna kesederhanaan masyarakat Dukuh Kebuk Kidul di zaman dulu. Sebelum adanya plastik, Manganan selalu identik dengan kereneng.

“Masyarakat memanfaatkan bambu dan dedaunan yang melimpah di sekitar mereka. Bahkan, dulu masyarakat masih menggunakan batok kelapa untuk menyiduk olahan saat Manganan,” kata Ngateno kepada Solopos.com, Minggu (9/7/2023) sore.

Seiring berkembangnya zaman, lanjut Ngateno, masyarakat justru menggunakan keranjang yang terbuat dari plastik sebagai wadah makanan. Perilaku itu berjalan bertahun-tahun.

Kendati demikian, setidaknya dalam empat tahun terakhir, Ngateno berinisiatif untuk mengembalikan tradisi Manganan dengan menggunakan kereneng. Alasannya, ia ingin mengajak masyarakat mengurangi penggunaan plastik.

Tak hanya itu, tujuan Ngateno ingin generasi sekarang tidak lupa dengan tradisi leluhur. Dampak positifnya, pemuda-pemuda yang sebelumnya tidak bisa membuat kereneng, kini mereka bisa membuatnya sendiri.

“Jadi, sekarang kami sepakat untuk mengurangi penggunaan plastik dengan cara menjalankan tradisi leluhur. Semua yang kami suguhkan kepada masyarakat berbahan alami dari alam di sekitar kita,” tuturnya.

Ngateno menambahkan, tahun ini panitia menyediakan sekitar 2.500 kereneng. Nasi yang sudah disiapkan panitia akan diberi lauk-pauk ala kadarnya masyarakat desa. Hal itu seperti tahu, tempe, ikan dan sedikit irisan daging kambing.

Ngateno menambahkan, tradisi Manganan Makam Mbah Surojoyo ini rutin dilaksanakan setiap Malam Senin Pahing di bulan Zulhijah. Selain arak-arakan, dilaksanakan juga ziarah bersama, khataman Al-Qur’an, pengajian umum, dan pementasan rebana tradisional.

“Masyarakat di sini meyakini bahwa kereneng yang didoakan di acara Haul Mbah Sutojoyo membawa keberkahan tersendiri. Berkah untuk masyarakat. Berkah juga untuk lingkungan dan alam,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya