Jateng
Minggu, 9 Juli 2023 - 16:33 WIB

Haul Leluhur di Banjaran Jepara, Tradisi Unik Kurangi Penggunaan Sampah Plastik

Adhik Kurniawan  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tradisi unik yang dimiliki masyarakat Dukuh Kebuk Kidul, Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (9/7/2023). Dalam Haul Leluhur itu bertujuan mengurangi sampah plastik. (Istimewa/Juru Kunci Makam)

Solopos.com, JEPARASampah plastik masih menjadi permasalahan yang berlarut-larut hingga masa kini, tak terkecuali di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (Jateng).

Namun, ada tradisi unik yang dimiliki masyarakat Dukuh Kebuk Kidul, Desa Banjaran, Kecamatan Bangsri Jepara, yakni Haul Leluhur. Dalam tradisi itu, warga diedukasi menjaga lingkungan sekitar.

Advertisement

Dari informasi yang dihimpun Solopos.com, Haul Leluhur adalah tradisi unik untuk mengurangi penggunaan plastik. Warga menggunakan bahan-bahan alami sebagai wadah makanan dalam acara Haul Leluhur.

Lebih jauh, bagi masyarakat sekitar, tradisi Haul Leluhur lebih sering disebut dengan nama Manganan yang bermakna selamatan sekaligus makan bersama di Makam Mbah Surojoyo. Ia merupakan tokoh sekaligus leluhur yang diyakini masyarakat sebagai cikal bakal adanya Dukuh Kebuk Kidul.

Advertisement

Lebih jauh, bagi masyarakat sekitar, tradisi Haul Leluhur lebih sering disebut dengan nama Manganan yang bermakna selamatan sekaligus makan bersama di Makam Mbah Surojoyo. Ia merupakan tokoh sekaligus leluhur yang diyakini masyarakat sebagai cikal bakal adanya Dukuh Kebuk Kidul.

Lebih dari 2.000 orang dari Dukuh Kebuk Kidul dan dukuh-dukuh tetangga tumplek blek di area makam pada Minggu (9/7/2023) pagi. Mereka dengan semarak mengarak imitasi kereneng atau keranjang yang terbuat dari bambu mengelilingi desa.

Dua buah kereneng raksasa memimpin rombongan masyarakat. Imitasi Kereneng itu berisi nasi yang terbuat dari styrofoam dan lauk-pauk dari kayu yang dihancurkan.

Advertisement

Juru kunci makam, Ngateno, mengatakan kereneng sendiri memiliki makna kesederhanaan masyarakat Dukuh Kebuk Kidul di zaman dulu. Sebelum adanya plastik, Manganan selalu identik dengan kereneng.

“Masyarakat memanfaatkan bambu dan dedaunan yang melimpah di sekitar mereka. Bahkan, dulu masyarakat masih menggunakan batok kelapa untuk menyiduk olahan saat Manganan,” kata Ngateno kepada Solopos.com, Minggu (9/7/2023) sore.

Seiring berkembangnya zaman, lanjut Ngateno, masyarakat justru menggunakan keranjang yang terbuat dari plastik sebagai wadah makanan. Perilaku itu berjalan bertahun-tahun.

Advertisement

Kendati demikian, setidaknya dalam empat tahun terakhir, Ngateno berinisiatif untuk mengembalikan tradisi Manganan dengan menggunakan kereneng. Alasannya, ia ingin mengajak masyarakat mengurangi penggunaan plastik.

Tak hanya itu, tujuan Ngateno ingin generasi sekarang tidak lupa dengan tradisi leluhur. Dampak positifnya, pemuda-pemuda yang sebelumnya tidak bisa membuat kereneng, kini mereka bisa membuatnya sendiri.

“Jadi, sekarang kami sepakat untuk mengurangi penggunaan plastik dengan cara menjalankan tradisi leluhur. Semua yang kami suguhkan kepada masyarakat berbahan alami dari alam di sekitar kita,” tuturnya.

Advertisement

Ngateno menambahkan, tahun ini panitia menyediakan sekitar 2.500 kereneng. Nasi yang sudah disiapkan panitia akan diberi lauk-pauk ala kadarnya masyarakat desa. Hal itu seperti tahu, tempe, ikan dan sedikit irisan daging kambing.

Ngateno menambahkan, tradisi Manganan Makam Mbah Surojoyo ini rutin dilaksanakan setiap Malam Senin Pahing di bulan Zulhijah. Selain arak-arakan, dilaksanakan juga ziarah bersama, khataman Al-Qur’an, pengajian umum, dan pementasan rebana tradisional.

“Masyarakat di sini meyakini bahwa kereneng yang didoakan di acara Haul Mbah Sutojoyo membawa keberkahan tersendiri. Berkah untuk masyarakat. Berkah juga untuk lingkungan dan alam,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif