SOLOPOS.COM - Makam Mbah Abdul Wahid, Tingkir Lor, Tingkir, Salatiga. (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, SALATIGA – Sebagai salah satu daerah tertua di Indonesia, Salatiga menyimpan banyak sejarah tentang berdirinya bangsa Indonesia. Salah satunya dibuktikan dengan keberadaan makam Mbah Abdul Wahab yang terletak di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.

Mbah Abdul Wahab dikenal sebagai leluhur Presiden ke-4, Abdurrahman Wahi atau yang dikenal juga dengan Gus Dur. Semasa hidupnya, Mbah Abdul Wahab dikenal sebagai salah satu anggota pasukan telik sandi atau mata-mata Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa pada 1825 silaam.

Promosi Kisah Inspiratif Ibru, Desa BRILian Paling Inovatif dan Digitalisasi Terbaik

Konon, Mbah Wahid tergabung dalam laskar yang dipimpin Kiai Madja atau Kiai Mojo, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang juga telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Mbah Wahid kala itu ditugaskan menjadi mata-mata yang mengintai pergerakan Belanda di Salatiga.

Juru kunci makam Mbah Wahid, Sadzali Marjan, menceritakan Mbah Wahid tergolong bertahan cukup lama di Salatiga untuk turut melawan penjajah. “Yang merekerut Mbah Wahid adalah Kiai Mojo. Saat itu, Kiai Mojo ditugaskan Pangeran Diponegoro untuk merekrut kiai ngaji, warga, sebagai laskar. Kemudian, ia ditugaskan menjadi mata-mata,” terang Marjan saat dijumpai Solopos.com di Makam Mbah Abdul Wahid, Kamis (5/1/2023).

Marjan menyebutkan Mbah Wahid sebenarnya berdomisili di Boyolali. Namun, saat meletusnya Perang Jawa, ia bermukim di Salatigaa tanpa keluarganya. Saat bertugas sebagai telik sandi, Mbah Wahid konon menggunakan nama samaran Mbah Maksum.

“Nama Mbah Wahid baru dikenal 20 tahun terakhir. Itu juga berdasarkan catatan dari keluarga Pondok Tebu Ireng di Jombang,” ujarnya.

Sebelum Pangeran Diponegoro tertangkap oleh Belanda, Pangeran Diponegoro memberikan instruksi kepada para pejuang, untuk menanam pohon Sawo jika dirinya tidak pulang pasca bertemu pihak Belanda.

“Malam sebelum ditangkap Belanda, Pangeran Diponegoro sempat berpesan kepada pengikutnya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Meski demikian, Pangeran Diponegoro meminta setiap pengikut menanam pohon sawo di depan rumah maupun masjid sebagai tanda masih satu kesatuan.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, Mbah Wahid pun menetap di Tingkir, Salatiga, hingga akhir hayatnya. Ia dimakamkan di Tingkir Lor. Selain makam Mbah Wahid, di kompleks permakaman itu juga ada makam lain yang konon milik Kiai Abdan yang memiliki julukan Mbah Samber Nyowo.

“Itu [makam] teman seperjuangan [Mbah Wahid] yang asli dari Tingkir,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya