SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. (winnipegsun.com)

Kekerasan terhadap anak di Semarang diklaim LSM Setara semakin meningkat.

Semarangpos.com, SEMARANG Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Setara mengklaim kasus kekerasan terhadap anak di Kota Semarang semakin meningkat. Setara mengklaim menemukan 90 kasus kekerasan terhadap anak di tiga kelurahan Kota Semarang, selama 2016.

Promosi BRI Group Berangkatkan 12.173 Orang Mudik Asyik Bersama BUMN 2024

Dari 90 kasus kekerasan terhadap anak itu, 34 di antaranya merupakan kekerasan seksual dengan korban 12 anak laki-laki dan 22 anak perempuan. Ironisnya, dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap anak itu pelakunya mayoritas juga berasal dari kalangan anak-anak.

Kisah tragis itu disampaikan Ketua LSM Setara, Tsaniatus Sholihah, saat melakukan dialog interaktif dalam program Gayeng Bareng Gubernur yang digelar oleh salah satu stasiun televisi di Kota Semarang, Senin (5/12/2016). Tsaniatus menilai kasus kekerasan terhadap anak yang pelakunya juga anak-anak itu salah satunya dipengaruhi faktor teknologi, seperti Internet maupun media sosial.

“Mereka terpengaruh tontonan pornografi yang dengan mudah diakses dari media maupun lingkungan, kemudian mempraktikannya dengan teman. Namun, mereka tidak tahu dan belum memahami bahwa itu adalah kekerasan seksual karena menilai itu permainan,” ujar Tsaniatus seperti dilansir situs resmi Pemprov Jateng, Selasa (6/12/2016).

Tsaniatus mengungkapkan hampir sebagian besar kasus kekerasan seksual terhadap anak itu pelakunya merupakan anak-anak yang sebaya dengan korban. Bahkan, Tsaniatus menyebutkan salah satu kasus yang ditemukan pelakunya masih duduk di kelas III sekolah dasar (SD).

“Faktor teknologi baik internet, media sosial, maupun televisi merupakan gerbang utama mereka meniru adegan seksual. Selain itu, kondisi ekonomi juga sangat berpengaruh. Terkadang keterbatasan ruang tidur tempat tinggal menyebabkan anak dengan mudah melihat aktivitas seksual yang dilakukan orang tua mereka,” terang Tsaniatus.

Sementara itu, Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BPSAKB) Jateng, Sri Kusuma, justru menyebutkan kasus kekerasan terhadap anak di Jateng cenderung memperlihatkan tren yang menurun sejak dua tahun terakhir. Sri mengatakan itu menyusul laporan yang diperoleh dari pusat layanan terpadu yang tersebar di 35 kabupaten/kota se-Jateng.

Meski demikian, Sri tak bisa memastikan jika data yang diterima itu benar sepenuhnya. Hal itu karena data itu tidak menjamin adanya penurunan kasus kekerasan terhadap anak di lapangan, karena masih mungkin ada kasus-kasus yang tidak terlapor atau masuk ke pusat layanan terpadu.

“Perlu menggencarkan sosialisasi agar warga segera melapor apabila mengetahui adanya tindak kekerasan terhadap anak, baik melalui sms ke gubernur, BP3AKB, atau datang langsung,” imbuhnya.

Selain faktor teknologi kekerasan terhadap anak juga disebabkan faktor lain seperti tingkat kemiskinan atau tekanan ekonomi. Anggota Komisi E DPRD Jateng, M. Zen, mencontohkan kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Grobogan, beberapa waktu lalu, di mana seorang ibu tega menyembelih anaknya yang berusia lima tahun akibat tekanan ekonomi.

“Kemiskinan menjadi faktor yang berpengaruh signifikan bahkan mencapai 71 persen. Maka ini harus kita evaluasi bersama untuk mengambil kebijakan selanjutnya agar kasus kekerasan anak tidak lagi semakin parah,” beber Zen.

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya