SOLOPOS.COM - Pendamping korban dugaan mafia tanah Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Iwan Susanto. (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, UNGARAN — Korban kasus dugaan mafia tanah di Desa Candigaron, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang saat ini berjumlah delapan orang. Namun demikian, menurut Iwan Susanto selaku pendamping korban dari LPBH NU Kendal memperkirakan jumlah korban akan bertambah lagi.

Hal itu menyusul adanya posko pengaduan yang dia buka dalam beberapa waktu terakhir. Sehingga para korban merasa aman jika melapor.

Promosi Aset Kelolaan Wealth Management BRI Tumbuh 21% pada Kuartal I 2024

Iwan mengatakan kasus ini berawal ketika para korban tertarik meminjam uang ke terduga pelaku NS dengan iming-iming mudah dan cepat. Para korban hanya menyodorkan sertifikat tanah saat meminjam duit. Walupun dengan bunga tinggi, para korban tetap tertarik meminjam.

“Tapi kenyataan di lapangan, korban ketika ingin melunasi, mereka kesulitan menemui pelaku. Setelah dicek di BPN, semua sertifikat korban ini sudah berpindah tangan dengan posisi ada di bank,” kata Iwan, Kamis (27/7/2023).

Dikatakan, salah satu korban tersebut bernama Edi yang memiliki tanah seluas 3.900 meter persegi. Belakangan diketahui sertifikat milik Edi itu ternyata sudah di balik nama menjadi milik NS. Oleh NS, sertifikat itu dijadikan jaminan dengan nilai Rp5 miliar.

“Akhirnya ketemu benang merahnya. Kenapa para korban tidak dapat melunasi? Kenapa tidak bisa ditemui? Walaupun para korban melunasi, tapi tidak bisa balik lagi sertifikatnya. Satu sudah balik nama, kedua sudah dijadikan jaminan ke bank,” terang Iwan.

Diakuinya para korban sudah melaporkan kasus ini ke Polres Semarang atas nama Dawam sejak tahun 2021. Di samping itu, ketiga korban telah melaporkan kasus tersebut ke Polres Semarang, Kamis (20/7/2023).

“Korban yang baru melapor ke kami ada delapan orang. Tapi banyak korban lain yang melaporkan ke saya. Kemarin mereka takut. Lantaran sudah kita buka posko pengaduan, jadi pada melaporkan,” ungkap dia.

Menurutnya, ada indikasi mafia tanah dalam kasus ini. Sebab, proses kepemilikan ini tidak sesuai dengan yang seharusnya. Selain itu, pinjaman bank juga lebih tinggi dari aset.

“Misalnya aset Pak Edi Rp1 miliar, ini bisa cair Rp5 miliar,” katanya.

Dikatakan, pinjaman dari korban yang sudah melaporkan itu jumlahnya bervariasi. Di antaranya Dawam yang meminjam uang Rp30 juta (harus melunasi Rp150 juta), Edi pinjam Rp250 juta (membayar Rp400 juta), Rusdiono pinjam Rp50 juta (harus bayar Rp250 juta).

Selanjutnya, Suryadin Rp25 juta (membayar Rp 116 juta) karena sistem membayar Rp750.000 per bulan selama 15 tahun, Suyamto senilai Rp30 juta (menjadi Rp40 juta), Nasiun Rp80 juta (mengembalikan Rp140 juta), Riyadi Rp45 juta (mengembalikan Rp80 juta), dan Jumiati Rp25 juta.

“Riyadi ini tanahnya sudah dijual ke orang lain. Korban ini takut, enggak berani tidak berbuat apa-apa. Sudah dua tahun, baru berani melapor sekarang,” imbuhnya.

Diakuinya dari semua yang meminjam itu tidak ada yang selesai dengan baik. Tapi semuanya bermasalah. Meskipun telah membayar utang secara lunas dengan bunganya, sertifikat tanah tetap tidak dikembalikan.

“Seperti yang telah dilakukan Dawam yang sudah membayar Rp150 juta, sertifikatnya tidak bisa kembali. Karena tidak ready di rumah gitu lo,” tandas Iwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya