SOLOPOS.COM - Ilustrasi BRT Trans Semarang. (JIBI/Bisnis/Dok.)

Solopos.com, SEMARANG — Koalisi Pejalan Kaki Semarang (KPKS) meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, Jawa Tengah (Jateng), untuk melakukan evaluasi terhadap layanan transportasi Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang. Alasannya, layanan BRT Trans Semarang saat ini dianggap kurang optimal dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hal utu diungkapkan Pendiri KPKS, Theresia Tarigan, kepada awak media di Semarang, Kamis (9/2/2023). Menurut Theresia, BRT yang beroperasi sejak 2009 itu tingkat okupansi atau rata-rata jumlah penumpangnya masih jauh dari ekspektasi, yakni 0,5 persen dari total penduduk Kota Semarang.

Promosi Tenang, Asisten Virtual BRI Sabrina Siap Temani Kamu Penuhi Kebutuhan Lebaran

“Jika membaca data 2021, subsidi BRT mencapai Rp213 miliar. Sementara, pendapatannya Rp25 miliar. Saya rasa sangat njomplang [tidak seimbang]. Mungkin Organda bisa lebih profesional. Masa, UPT [Unit Pelaksana Teknis] sejak 2009 tapi pendapatannya masih segitu. Harusnya ada perombakan manajemen biar lebih profesional yang mampu menganalisis coverage angkutan. Supaya, setiap bis bisa 70 persen satu ritnyaa. Jadi, dengan demikian subsidinya 30 persen,” ujar Theresia.

Perempuan yang tinggal di Banyumanik itu juga heran, di usia 10 tahun BLU BRT Semarang tidak pernah melakukan survei demand guna mengetahui seberapa banyak warga membutuhkan layanan transportasinya. Ia mencontohkan jika pangsa pasar BRT ditujukan ke siswa sekolah, kenapa hingga kini masih banyak siswa SMA dan bahkan SMP yang pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor.

Menurut Theresia, transportasi umum seharusnya memenuhi kebutuhan publik. Perempuan yang saat ini menempuh program S3 di Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang itu juga menyarankan agar UPT BLU BRT Trans Semarang untuk melakukan pemetaan halte.

“Saya sering dapat masukan dari pekerja di kawasan industri, mereka sebenarnya lelah juga pakai motor. Dalam penelitian untuk disertasi saya, ada seorang satpam asal Ngaliyan dan bekerja di Ungaran yang memilih pulang sepekan sekali karena terlalu capek berkendara. Jadi tidak semua kendaraan pribadi itu memenuhi kebutuhan. Makanya, harus ada pemetaan halte juga, seharusnya halte itu jaraknya 400 meter dari perumahan [permukiman]. Kalau pusat kota bisa 250 meter,” tutur Theresia.

Sementara itu, Nanik, warga Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik, menyampaikan cucunya yang bersekolah di SMKN 5 Semarang terpaksa berangkat sekolah menggunakan sepeda motor. Alasannya, beberapa kali ia menunggu BRT di halte namun bus yang ia tunggu enggan berhenti.

“Memang betul yang duduk di halte bisa jadi menunggu ojek, namun setidaknya BRT sudi berhenti barang sedetik seperti feeder di Solo. Jika uang saku tinggal Rp2000, sementara ia kesulitan dapat angkutan umum, kan kasihan,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya