SOLOPOS.COM - Suasa pembeli saat tengah memilih layang-layang di Toko Maganol Semarang, Jawa Tengah. (Solopos.com/Adhik Kurniawan).

Solopos.com, SEMARANG — Perkembangan teknologi yang kian pesat tak melulu mematikan mainan tradisional. Hal ini turut dibuktikan dengan keberadaan Toko Maganol, sebuah toko mainan tradisional seperti layang-layang di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), yang tetap eksis sejak kali pertama didirikan pada tahun 1965, atau lebih dari 50 tahun.

Berlokasi di tepi Jalan M.T. Haryono No. 530, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Toko Maganol masih menjaga eksistensinya dalam menjual berbagai macam bentuk layang-layang dan benang. Pelanggan toko ini pun bermacam-macam, mulai dari anak-anak hingga orang dewas.

Promosi Terus Naik, Portofolio Pembiayaan Berkelanjutan BRI Capai Rp787,9 Triliun 2024

Predikat legendaris pun layak disematkan pada Toko Maganol. Hal ini dikarenakan banyak warga Semarang yang ditanya tempat membeli layang-layang, dalam benaknya langsung tertuju pada Toko Maganol.

“Itu [Toko Maganol] sudah lama berdiri. Paling pertama malahan kayaknya di sini [Jalan MT Haryono Semarang]. Dari saya kecil sampai tua, masih tetap buka dan jual layangan,” ujar warga sekitar, Alex Rianto, 60, kepada Solopos.com, Selasa (29/8/2023).

Warga Kelurahan Sarirejo itu juga membenarkan bila eksistensi Toko Maganol masih terjaga di era gempuran gadget atau gawai yang kini bak mainan bagi anak-anak. Setiap hari, ia masih melihat puluhan orang silih berganti menyambangi toko layang-layang tersebut.

“Apalagi ini musimnya, tambah ramai [pembelinya],” ujar Alex.

Pemilik Toko Maganol, Mulyono Sentoso, merupakan generasi kedua dari pemilik toko layang-layang legendaris di Semarang itu. Ia pun mengaku toko tersebut merupakan peninggalan dari kedua orang tuanya, Than Djon Eng dan Tjon Ling Yung.

Awal Berdiri

Mulyono mengaku awalnya ayahnya, Than Djon Eng, tidak berniat membuka usaha toko mainan di Semarang, seperti layang-layang. Dulunya, ayahnya merupakan guru bahasa Indonesia di sekolah milik etnik Tionghoa. Namun, keadaan pasca-peristiwa G30S PKI memaksa keluarganya melakoni usaha toko mainan.

“Karena kasus G30S PKI dulu, sekolah-sekolah China kan ditutup,” kenang Mulyono.

Orang tua Mulyono pun akhirnya harus banting setir menjadi pengusaha atau berjualan layang-layang untuk tetap menyambung hidup. Pilihannya itu tergolong tepat karena asap dapurnya tetap mengepul walaupun kehilangan pekerjaan sebagai guru.

Mulyono juga menyampaikan jika sebenarnya di Toko Maganol, Semarang, ini tidak hanya menjual layang-layang saja, namun terdapat mainan tradisional lainya. Kendati demikian, yang menjadi menjadi ikon toko tersebut adalah layang-layang dan benang untuk menerbangkan layang-layang.

Sedangkan untuk nama Maganol, Mulyono mengaku nama tersebut diambil dari nomor jalan atau alamat di tokonya. Yakni ruko Pasar Mataram, Nomor 530 atau Lima Tiga Enol.

“Lima itu Ma, tiga itu Ga, dan nol itu Nol. Makanya diberi nama Maganol,” jelasnya.

Mulyono pun mengaku senang bila tokonya disebut-sebut legent atau sering menjadi jujukan ketika musim layangan tiba. Sebab dengan demikian, ia bisa turut serta untuk menjaga mainan tradisional agar eksis dan tetap digandrungi masyarakat Kota Lumpia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya