SOLOPOS.COM - Makam Sunan Pojok Blora. (Istimewa/potretblora.com)

Solopos.com, BLORA — Salah satu tokoh Islam yang terkenal di Blora, yakni bernama Sunan Pojok Blora. Sunan yang bernama asli Pangeran Suro Bahu Abdul Rohim ini dinilai sangat berjasa besar dalam penyebaran ajaran agama Islam di Blora.

Cerita sejarah Sunan Pojok Blora sudah diwariskan secara turun-temurun. Melansir dari balaibahasajateng.kemendikbud.go.id, nama Sunan Pojok Blora disandang beliau sejak menjadi pendiri Kadipaten Blora.

Promosi Digitalisasi Mainkan Peran Penting Mendorong Kemajuan UMKM

Beliau telah memberi nama-nama pedukuhan dan kota serta banyak peninggalan lainnya. Salah satu peninggalannya adalah Masjid Agung Baitunnur Blora.

Di samping itu, Sunan Pojok Blora merupakan suri teladan bagi kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selama hidup, Sunan Pojok Blora setia mengabdikan diri pada pemerintahan Kerajaan Mataram yang kala itu dipimpin Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Sunan Pojok Blora juga dibekali dengan banyak karamah atau keistimewaan yang tidak dimiliki oleh hamba Allah SWT pada umumnya. Keistimewaan beliau dianggap sebagai sarana penghambaan diri kepada Allah SWT, kepada pemerintah, dan kepada masyarakat sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Sunah.

Atas jasa-jasa dan perjuangannya dalam menegakkan syariat agama Islam, Sunan Pojok Blora memiliki beragam nama atau panggilan. Hal itu seperti Pangeran Pojok, Pangeran Surabaya, Pangeran Surabahu, Pangeran Sedah, Syekh Amirullah Sayid Abdurrochim, dan Sunan Pojok Blora atau Mbah Benun Wali Pojok.

Menilik tentang asal-usulnya, Sunan Pojok Blora dikenal juga sebagai Pangeran Pojok atau Pangeran Surabaya, putra dari Pangeran Ronggo Sedajoe. Pangeran Ronggo Sedajoe adalah putra dari Pangeran Sedajoe. Sedangkan Pangeran Sedajoe sendiri adalah putra dari Hadipati Sarengat yang menikah dengan Ratu Pekodjo.

Pangeran Pojok menjadi Adipati Tuban selama 42 tahun, sejak tahun 1619-1661. Salah satu peninggalannya selama menduduki jabatan tersebut adalah pemberian nama desa yang ada di Blora.

Dikisahkan pada Grebeg Maulud Tahun Dal yang jatuh setiap delapan tahun sekali, seluruh Bupati/Adipati di Tanah Jawa datang ke Mataram dan menghadap Sri Sultan yang pada saat itu dijabat oleh Amangkurat I untuk melaporkan pelaksanaan tugas mereka masing-masing.

Sebagai Adipati di Tuban, Pangeran Pojok pun turut datang ke Mataram dengan dikawal beberapa anak buah beliau. Saat perjalanan pulang dari Mataram, Sunan Pojok Blora beristirahat di bawah pohon nangka.

Lantaran daerah tersebut belum memiliki nama, maka Pangeran Pojok memberi nama Karangnangka. Perjalanan beliau pun dilanjutkan dengan melewati daerah yang masih berupa hutan belantara.

Guna melewatinya, sunan dan anak buahnya harus nasak-nasak (membabat hutan). Oleh karenanya, tempat tersebut kemudian dinamakan Desa Sasak.

Perjalanan pun dilanjutkan kembali dengan perlahan-lahan (alon-alon) karena melewati daerah yang tanahnya embel atau berlumpur. Daerah tersebut kemudian diberi nama Blora (dari asal kata Belor yang berarti lumpur).

Karena rombongan sunan berjalan dengan alon-alon, maka tempat tersebut dinamakan alun-alun. Pangeran Pojok kemudian mendirikan tempat ibadah yang terletak di sebelah barat Alun-alun Blora, saat ini menjadi masjid Agung Baitunnur Blora.

Sunan Pojok Blora dikaruniai tiga orang putra, yaitu Pangeran Kleco, Raden Sumodito, dan Raden Dipoyudo. Pangeran Kleco tinggal dan dimakamkan di Kudus, sementara Raden Sumodito dan Raden Dipoyudo tinggal dan dimakamkan di Blora.

Setelah wilayah Blora dibangun, Raden Sumodito atau Raden Tumenggung Djojodipo atau Raden Tumenggung Djojodiwirya diangkat menjadi Bupati pertama di Kadipaten Blora.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya