SOLOPOS.COM - Wayang potehi tema 12 shio di Binus School Semarang. (Ponco Wiyono-Solopos.com)

Solopos.com, SEMARANG – Seni pertunjukkan wayang memiliki ragam jenis. Salah satunya adalah wayang potehi, yang selama ini dikenal sebagai budaya peranakan Cina dan pernah berjaya di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).

Dilansir dari laman warisanbudaya.kemendikbud.go.id, wayang potehi memang bukan kesenian asli Kota Semarang. Meski demikian, keberadaan wayang potehi pernah mengukir sejarah seni pertunjukan di Kota Semarang.

Promosi Efek Ramadan dan Lebaran, Transaksi Brizzi Meningkat 15%

Wayang potehi merupakan senin pertunjukan boneka tradisional asal Fujian, Tiongkok Selatan. Potehi berasal dari kata ‘pou’ yang berarti kani, ‘te’ memilik makna kantong, dan ‘hi’ yang berarti wayang. Secara hariah, wayan potehi bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain, meskipun beberapa bagiannya terbuat dari kayu.

Di tempat asalnya, akar dari kesenian wayang potehi telah berkembang ribuan tahun lalu. Konon, wayang potehi dibuat oleh lima terpidana mati yang sedang menunggu hari eksekusi. Untuk menghilangkan kesedihan, mereka membuat boneka dari potongan kain dan memainkannya dengan musik pengiring dari barang-barang seadanya.

Pertunjukan itu ternyata bukan hanya menghibur mereka, tapi tahanan lain, para sipir penjara, hingga sang raja yang akhirnya membebaskan kelima terpidana itu dari hukuman mati.

Baca juga: Wayang Potehi pada Era Kekinian

Wayang potehi dibawa imigran asal Tiongkok ke Nusantara sekitar abad ke-16 dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Wayang potehi dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang.

Lakon-lakon yang biasa dibawakan menyesuaikan keadaan seperti kisah legenda dan mitos klasik dari daratan Tingkok seperti Cun Hun Cauw Kok atau Hong Kian Cun Ciu untuk pertunjukan di kelenteng. Sementara untuk pentas di luar kelenteng, diambil cerita-cerita yang populer seperti Sun Go Kong (Kera Sakti) atau Sam Pek Eng Tay.

Akulturasi Budaya

Di Nusantara, akulturasi wayang potehi dengan budaya Jawa tak terhindarkan. Selain bahasa dan dialek yang mengadopsi budaya lokal, akulturasi terjadi pada penggunaan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong. Lagu-lagu Jawa juga sering digunakan sebagai selingan tapi dengan irama musik Tiongkok.

Tahun 1950-an, kesenian wayang potehi sangat digemari di Semarang. Namun seiring bergulirnya zaman, hanya segelintir yang terus menjaga kelangsungan wayang potehi. Salah satunya adalah Binus School Semarang.

Baca juga: Kisah Dalang Potehi Semarang, Berburu ke Pasar Loak Demi Perkaya Cerita

Di sekolah ini, wayang potehi dimainkan dalam bentuk 12 shio. Menurut Principal Binus School Semarang, Elsie L. Bait, wayang potehi bertema shio ini bertujuan agar para siswa mengenal macam-macam shio dan sejarahnya.

“Serta mengangkat wayang potehi sebagai representasi budaya lokal Kota Semarang yang kental akan budaya Tionghoa,” kata Elsie, Kamis (10/11/2022).

Binus School Semarang menggandeng Yayasan Sendjojo Njoto Seni Budouo untuk menghadirkan Museum Gubug Wayang untuk mempertunjukkan wayang potehi ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya