SOLOPOS.COM - Tradisi Meron di Pati. (warisanbudaya.kemendikbud.go.id)

Solopos.com, PATI — Tradisi Meron selalu diperingati masyarakat Desa Sukolili, Kecamatan Sukorilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), saat perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Lantas, sejak kapan tradisi Meron itu digelar? Berikut asal usul atau sejarah tradisi Meron di Pati, Jateng.

Diolah dari berbagai sumber, meron merupakan sebutan bagi nasi tumpeng. Bagi masyarakat Sukolilo, Pati, nasi tumpeng kerap disebut sebagai meron.

Promosi BI Rate Naik, BRI Tetap Optimistis Penyaluran Kredit Tumbuh Double Digit

Setiap Maulid Nabi, atau memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW, masyarakat Sukolilo Pati pun membuat tradisi meron. Total ada 13 Meron yang dikirab dan menjadi rebutan penduduk setempat.

Meron tersebut terdiri dari tiga bagian, yakni mustaka, gunungan, dan ancak. Bagian mustaka terdapat rangkaian bunga dan jagoan. Lalu bagian gunungan terdiri dari mancungan, ampyang curur, dan once. Selanjutnya bagian ancak terdapat ancak tiga, daun wandiro, ancak dua dan ancak satu.

Tujuan diadakan tradisi Meron ini adalah untuk melestarikan tradisi budaya masyarakat secara turun temurun dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga sebagai wahana meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sementara itu, asal usul tradisi Meron ini belum diketahui secara pasti. Meski demikian, berdasarkan cerita secara turun menurun di Desa Sukolilo, tradisi Meron berasal dari Suro Kadam.

Suro Kadam

Konon tradisi Meron di Sukolilo diadakan kali pertama pada masa pemerintahan Kesultanan Mataram pada awal abad ke-17. Dulu di Sukolilo ada lima bersaudara yakni Suro Kadam, Suro Kerto, Suro Yudo, Suro Tirto, dan Suro Wijoyo, karena kelima laki-laki maka dikenal dengan Pandawa Lima.

Suro Kadam adalah yang tertua dari lima saudara. Ia berniat ke Kesultanan Mataram mengikuti jejak leluhurnya yang berasal dari Mataram. Singkat cerita Suro Kadam sedang beristirahat di Alun-alun Mataram. Dia melihat ada prajurit lari karena ada gajah mengamuk. Kemudian berkembanglah kisah Suro Kadam menaklukkan gajah.

Suro Kadam bisa menaklukan gajah yang mengamuk hingga menewaskan pawangnya itu. Suro Kadam pun diangkat menjadi pawang oleh Sultan Agung dan diberi gelar Raden Ngabehi Suro Kadam. Kemudian Suro Kadam ditunjuk menjadi mata-mata saat terjadi perang antara Sultan Agung dengan Adipati Pati, Wasis Jayakusuma. Suro Kadam pun ditunjuk untuk menjadi pimpinan prajurit di wilayah Sukolilo lereng Gunung Kendeng bagian utara.

Setelah perang usai Suro Kadam memilih menetap di Sukolilo. Dia pun berkeinginan untuk menggelar upacara tradisi sekaten seperti di Mataram. Singkat cerita saat perayaan Maulid Nabi Muhammad di Keraton Mataram ada upacara sekaten.

Sultan Agung senantiasa menggunakan perayaan sekaten sebagai arena para prajurit dan para punggawa dalam pisowanan agung yang menjadi tolok ukur kesetiaan. Sultan Agung pun mempersilakan, dengan syarat agar asal penyebutannya tidak sama melainkan dengan istilah meron. Tradisi Meron itu pun yang dilestarikan masyarakat hingga sekarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya