SOLOPOS.COM - Warga Desa Asinan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang saat memasang baliho bergambar Capres-cawapres yang berisi penolakan terhadap perluasan Rawa Pening Sabtu (6/1/2024). (Istimewa)

Solopos.com, UNGARAN – Warga Desa Asinan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (Jateng) yang tergabung dalam Perhimpunan Petani Nelayan Rawa Pening (PERPENNERA) memasang spanduk bergambar tiga pasangan calon (paslon) peserta Pilpres 2024, Sabtu (6/1/2024) pagi.

Spanduk yang dipasang di Jalan Raya Semarang-Solo, tepatnya di dekat Jembatan Tuntang itu bukan merupakan dukungan kepada paslon tertentu. 

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Melainkan, berisi pesan kepada siapapun paslon yang terpilih untuk menghentikan proyek perluasan Rawa Pening dan mencabut pemasangan patok sempadan di tanah milik warga.

Salah seorang warga terdampak Perluasan Rawa Pening, Joko Susanto mengatakan, pemasangan spanduk itu sebagai bentuk pesan kepada capres-cawapres yang mengikuti kontestasi pilpres 2024, agar  mengetahui permasalahan yang tengan dialami warga sekitar Rawa Pening. 

Mereka diharapkan bisa merampungkan persoalan tersebut ketika terpilih nanti.

“Ini kan momen kampanye juga, jadi kita pasang spanduk ini agar para capres tahu permasalahan yang kita hadapi. Karena sudah lama kami menderita,” terang Joko saat kepada Solopos.com, Sabtu.

Joko menyebut warga sebenarnya tak menolak apabila proyek yang dikerjakan fokus pada revitalisasi Danau Rawa Pening.

Namun, warga akan menolak apabila revitalisasi diikuti dengan perluasan bentang Rawa Pening, hingga masuk ke tanah maupun permukiman milik warga.

“Kami menolak perluasan Rawa Pening bukan tanpa dasar. Pemasangan patok sempadan yang dipasang sampai ke tanah, lahan, masuk permukiman milik warga ‘kan menjadi bukti kalau rencana perluasan itu ada. Efeknya sangat luar biasa bagi kami,” kata dia.

Efek perluasan itu, kata Joko, adalah terancamnya mata pencaharian warga sekitar Rawa Pening yang sebagian besar sebagai petani, nelayan, dan usaha yang menyokongnya. 

Menurut hitungannya, sekitar 600 hektare sawah di sekitar Rawa Pening bisa menghasilkan 6.000 ton gabah sekali panen. Jika terjadi perluasan maka membuat petani kehilangan mata pencaharian.

“Itu nilai yang sangat fantastis bagi kami. Belum lagi para nelayan yang sebelum adanya pembersihan Enceng Gondok, bisa mendapatkan minimal 10 kilogram dalam sehari. Apabila sudah dipatok ‘kan ada peringatan tidak boleh memanfaatkan tanah itu,” beber Joko.

Diakuinya, rencana perluasan Rawa Pening yang dituding bakal menyerobot tanah milik warga sudah diadukan dari Pemda sampai Kementerian dan Lembaga di tingkat pusat. 

Namun sampai saat ini hasilnya masih nihil. Patok sempadan yang digunakan untuk batas Rawa Pening itu, kata Joko, telah dipasang sejak September 2021.

“Kami sebelumnya memang memperbolehkan, karena ada surat penitipan (patok sempadan). Namun setelah dipasang, kami kejar surat penitipan itu tidak ada yang bisa memberikan,” terang Joko.

Dikatakan, efek pemasangan patok sempadan itu warga menjadi ketakutan, padahal tanah yang dipasangi patok adalah milik warga dengan bukti adanya surat atau sertifikat kepemilikan.

“Kalau revitalisasi sesuai dengan luas Rawa Pening itu mangga silakan. Tapi kalau perluasan kami menolak. Karena merugikan warga sekitar,” kata Joko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya