SOLOPOS.COM - Ilustrasi ajakan menghentikan bullying atau perundungan. (Freepik.com)

Solopos.com, SEMARANG – Kasus bullying atau perundungan kembali menyita perhatian publik seusai video penganiayaan pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah (Jateng), viral di media sosial (medsos). Terlebih dalam video itu terlihat pelaku melakukan selebrasi seusai menganiaya korban hingga terkapar di tanah.

Salah satu akun yang membagikan postingan tersebut adalah akun Twitter atau X, @jakartaterkinid. Dalam unggahan berdurasi 4,15 menit itu menampilkan para siswa yang bersorak saat pelaku melakukan perudungan hingga ditutup dengan aksi selebrasi oleh pelaku.

Promosi Safari Ramadan BUMN 2024 di Jateng dan Sulsel, BRI Gelar Pasar Murah

Psikolog dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Indra Dwi Purnomo, mengatakan kecenderungan remaja yang ingin eksis dan diakui oleh sosialnya sering menumbuhkan sifat bullying. Hal ini akan semakin kuat bila pelaku pernah menjadi korban bullying atau mempunyai hubungan tidak harmonis di keluarganya.

“Terus kalau dilihat dari video, pelaku seperti mendapat support dari teman-temannya. Jadi secara tidak langsung kehadiran rekan sekitar memberikan dukungan ke pelaku. Merasa status popularitasnya naik dan lebih berkuasa. Belum lagi kalau pelaku pernah jadi korban kekerasan, menganggap dirinya terancam bila tidak mencoba jadi superior. Kemudian apabila kehidupan keluarga kurang harmonis juga bisa menjadi pemicu anak melampiaskan emosinya ke orang lain. Tapi pada intinya, pelaku bully selalu ingin dominan dari orang lain, ingin populer dan diakui,” terang Indra kepada Solopos.com, Jumat (29/9/2023).

Dosen Unika yang juga praktik di RS Akademi Kepolisian (Akpol) itu menambahkan, perkembangan teknologi yang semakin cepat membuat penyebaran informasi semakin sulit dibendung. Akibatnya, banyak anak-anak yang menonton tontonan tidak sesuai dengan umurnya.

Generasi Z

“Generasi Z sekarang mudah mengakses medsos, yang tidak sepenuhnya menyajikan konten mendidik sesuai umur. Ada kekerasan dan lainnya. Anak-anak bisa terdorong mencontoh hal serupa. Maka, peran orang tua diperlukan untuk kontrol si anak, agar tidak memunculkan bibit bullying,” imbuhnya.

Sementara itu, psikolog dari RS Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro, mengatakan ketidakseimbangan antara pelaku dan korban juga menjadi pemicu terjadinya tindakan perundungan. Bahkan, hal ini disinyalir menjadi penyebab bullying kurang mendapat perhatian sebelum jatuh korban.

“Korban diejek karena kecil, miskin, penakut, hingga akhirnya diancam sehingga takut melapor. Sementar pelaku merasa bangga bisa melakukan itu [bullying]. Enggak sadar kalau tindakanya melawan hukum,” terang Probowatie.

Probowatie pun mengamini bila kurang kuatnya pendidikan karakter pada anak. Apalagi, pertumbuhan karakter tidak hanya dipengaruhi oleh guru di sekolah, namun juga sosial dan orang tua.

“Maka ini perlu komitmen bersama. Komunukasi antarsekolah, anak dan orangtua. Orang tua kalau anaknya sudah sekolah seakan lepas tangan enggak mau tahu. Guru juga sama, harusnya saling komunikasi, bagaimana anaknya di sekolah atau di luar. Jadi saat ada perubahan perilaku, sama-sama tahu dan bisa mengantisipasi,” pintanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya