Pembangunan daerah diharapkan semakin digenjot dengan meningkatkan penyerapan anggaran.
Kanalsemarang.com, SEMARANG-“Biaya siluman” menyebabkan penyerapan anggaran daerah, khususnya di bidang infrastruktur, menjadi seret.
“‘Biaya siluman’ ini justru menyebabkan terjadinya birokrasi biaya tinggi,” kata analis politik Universitas Diponegoro Semarang, M. Yuliantonya, di Semarang, Selasa (15/9/2015).
Ia menjelaskan “biaya siluman” yang muncul telah menyebabkan keengganan penyedia jasa konstruksi untuk ikut serta dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah daerah.
Ia menjelaskan “biaya siluman” yang muncul telah menyebabkan keengganan penyedia jasa konstruksi untuk ikut serta dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur pemerintah daerah.
Menurut dia, “biaya siluman” yang sudah lama terjadi tersebut muncul saat pelaksanaan tender berbagai proyek yang dibiayai dengan uang rakyat.
“Ada fee tersembunyi bagi oknum birokrasi dalam proyek-proyek infrastruktur tersebut,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, untuk kembali mendorong penyerapan anggaran maka harus ada kepastian dihapuskannya perilaku birokrasi yang menghambat serta deregulasi yang berkaitan dengan penyedia jasa konstruksi serta PNS yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proyek.
“Harus ada kebijakan yang melindungi pelaksana proyek agar tidak dengan mudah dipidana,” katanya.
Hal senada disampaikan praktisi hukum Josep Parera yang telah sering mendampingi penyedia jasa konstruksi yang terjerat pidana korupsi.
Menurut dia, dari berbagai kasus yang telah didampingi terungkap bahwa penyedia jasa konstruksi harus menyisihkan sejumlah anggaran proyek untuk memenuhi “fee” tersembunyi itu.
“Besarnya bisa sampai 20 persen dari anggaran yang dialokasikan untuk sebuah proyek,” katanya.
Akibat adanya “fee” tersebut, kata dia, pelaksana proyek terpaksa mengurangi volume pekerjaan agar tidak mengalami kerugian. “Mereka ini sebenarnya bukan kontraktor nakal, namun justru jadi korban,” katanya.