SOLOPOS.COM - Profil penari dalam kesenian Banyumasan (Instagram/@mellanny_295)

Solopos.com, BANYUMAS — Dikenal sebagai kawasan pengiyongan, masyarakat di wilayah eks-Keresidenan Banyumas atau Banyumasan yang terdiri dari empat kabupaten, yakni Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara rupanya telah memiliki keterikatan dalam hal pantangan kehidupan yang dikenal dengan istilah pepali.

Dilansir dari sebuah literasi yang ada di unnes.ac.id, Selasa (15/2/2022), pepali berawal dari kisah kematian Adipati Warga Utama I yang meninggalkan warisan kepada keturunannya berupa pepali tersebut. Dikisahkan Adipati Warga Utama I atau Adipati Wirasaba ini dibunuh oleh dua orang  gandek atau prajurit utusan Sultan Hadiwijaya, Raja Keraton Pajang di Solo (Sultan Pajang).

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

Baca juga: Asal Usul Gunung Muria, Peninggalan Palestina?

Terbunuhnya Adipati Wirasaba ini karena fitnah dari Ki Demang Toyareka atau Raden Bagus Sujarno yang tidak lain adalah adik kandung Adipati Wirasaba sendiri. Fitnah Ki Demang Toyareka merupakan balas dendam atas pengingkaran Adipati Wirasaba terhadap rembug tuanya atau perjanjian dengan orang tuanya.

Saat itu dia sepakat untuk menikahkan anak-anak mereka setelah dewasa, antara Raden Sukartiyah dengan putra Ki Demang Toyareka. Namun perjodohan mereka elik atau tidak baik sehingga diceraikan sepihak oleh Adipati Wirasaba dengan hukum Islam.

Baca juga: Unik! Provinsi Banyumasan Isine Orang Ngapak Kabeh?

Fitnah Adik Kandung

Tidak lama kemudian, Sultan Pajang meminta kepada seluruh bawahannya mengirimkan seorang putri untuk dijadikan pelara-lara atau selir dan Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya, yaitu Raden Rara Sukartiyah yang digagalkan pernikahannya dengan anak Ki Demang Torayeka secara sepihak tersebut.

Mengetahui hal tersebut, Ki Demang Torayeka membuat fitnah dan melapor kepada Sultan Pajang bahwa Raden Rara Sukartyah adalah randa kabla atau janda yang masih perawan. Tidak mengerti makna randa kabla, Sultan pajang marah dan mengutus dua orang gandek untuk menghukum mati Adipati Wirasaba yang sedang dalam perjalanan pulang setelah mengirimkan glondong pangarem-arem atau tanda kesetiaan dan hormatnya demi kepuasaan sang Sultan.

Adipati yang seketika itu diserang oleh dua gandek kiriman Sultan Pajang dengan menghunuskan tombak ke dadanya memberikan wewaler atau Pepali atau pantangan kepada keturunannya di akhir hayatnya.

Baca juga: Provinsi Jawa Tengah & DIY Utuh Sejak Indonesia Merdeka

Pepali Memudar

Pepali Adipati Wirasaba ini berbentuk logika perlambang dan pesan tersamar yang harus diinterpretasikan dengan bahasa sehari-hari. Pepali tersebut berisi jangan menikah atau mengambil menantu dari orang keturunan Torayeka, kemudian jangan keluar rurmah saat jatuh Sabtu Pahing, jangan makan danging angsa, jangan menaiki kuda warna kelabu dan jangan membangun rumah bale bapang.

Dalam periode waktu yang lama, pepali Adipati Wirasaba hidup, dipercaya dan dilaksanakan di empat kabupaten eks-Keresidenan Banyumas. Pepali Adipati Wirasaba ini pernah mengalami masa kejayaan sehingga sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat eks Kereidenan Banyumas, khususnya yang memegang teguh tradisi.

Baca juga: Bledug Kuwu Grobogan Diklaim Terhubung Laut Selatan, Benarkah?

Seiring perkembangan zaman dan kemajuan pola pikir manusia menjadikan pepali tersebut mulai ditinggalkan dan hanya beberapa kelompok masyarakat tradisional saja yang masih melaksanakan pepali tersebut dan itupun tidak secara keseluruhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya