SOLOPOS.COM - Masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Perkumpulan Boen Hian Tong menggelar peringatan Tragedi 1998 di Rumah Perkumpulan Rasa Darma, Kota Semarang, Minggu (21/5/2023). (Solopos.com-Adhik Kurniawan)

Solopos.com, SEMARANG Tragedi 1998 yang juga diperingati sebagai Hari Reformasi Nasional turut dirayakan warga Tionghoa di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (21/5/2023). Mereka menggelar peringatan di Rumah Perkumpulan Boen Hian Tong atau Rasa Darma, yang terletak di Jalan Gang Pinggir, Kota Semarang, sambil mengenang sosok Ita Martadinata Haryono.

Selain mengenak sosok aktivis hak asasi manusia (HAM) yang dibunuh secara misterius sebelum bersaksi di Sidang PBB terkait pemerkosaan massal di Indonesia pada 9 Oktober 1998 silam, warga juga menyiapkan makanan rujak pare sambel kecombrang. Makanan ini sebagai pengingat akan pahit dan pedasnya penderitaan yang dirasakan korban Tragedi Mei 1998.

Promosi BRI Meraih Dua Awards Mobile Banking dan Chatbot Terbaik dalam BSEM MRI 2024

Tampak, puluhan orang hadir mengikuti peringatan Hari Reformasi Nasional itu. Acara diawali dengan ritual sembahyang Tien pada pukul 10.30 WIB. Peserta yang hadir juga turut mengenakan pita hitam di lengan sebagai wujud berkabung.

Selain melakukan sembahyang, mereka juga melakukan peletakan bunga di sinci Ita Martadinata yang ada di Rumah Rasa Darma itu. Setelah melakukan sembahyang, warga pun berbagai cerita terkait pengalaman pribadi saat reformasi tersebut.

Ketua perkumpulan Boen Hian Tong, Haryanto Halim, mengatakan peringatan ini bertujuan untuk merawat kejadian menyedihkan yang pernah terjadi pada Mei 1998. Tujuannya tak lain untuk mengenang dan mencegah peristiwa serupa terulang.

“Peringatan ini kali pertama [digelar] pada 2018. Dari tahun ke tahun selalu ada tradisi makan rujak pare sambel kecombrang. Tapi untuk tahun ini, ada kontekstualisasi kisah kekerasan seksual dari para korban,” terang Haryanto seusai peringatan Mei 1998 di Rumah Rasa Darma, Semarang.

Berani Speak Up

Acara ini juga digelar sebagai pendorong bagi korban kekerasan seksual untuk berani bersuara. Dengan berani speak up, selain bisa mengeluarkan uneg-uneg juga bisa mencegah kekerasan seksual berulang.

“Seperti tadi Bu Heni menceritakan bagaimana orang tua dan anaknya jadi korban bom Bali, butuh belasan tahun untuk sembuh, meskipun sudah bertemu dengan mantan napi terorisnya,” bebernya.

Sementara itu, ketua panitia, Jose Krisna, menjelaskan jika rujak pare sambel kecombrang adalah bentuk refleksi dari tragedi Mei 98. Yakni menggambarkan kepahitan hingga kerusuhan yang terjadi pada para korban perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

“Mengapa pare? Karena itu perlambangan sebuah sejarah yang pahit, dan sambal rujak itu pedas. Jadi pahit dan pedes yang dicampur jadi satu itu merepresentasikan kesedihan, tangisan, hingga kepedihan yang dirasakan orang Thionghoa,” ujarnya.

Lebih jauh, sedangkan bunga kecombrang adalah pelambangan dari perempuan Tionghoa. Sementara Nasi Bunga Telang bewarna biru berbagai lauk yang disajikan dengan diulen jadi satu itu menggambarkan suku dan ras yang ada di Indonesia.

“Lauknya ada empal, telur, sambel goreng ati dan sebagainya. Ini mewakili berbagai suku, ras, agama. Saat makan dicampur jadi satu tanpa kehilangan identitas masing-masing,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya