Jateng
Rabu, 12 Juli 2023 - 13:27 WIB

Pernah Punya Kasus Antraks, Pemkab Semarang Lakukan Sejumlah Upaya Pencegahan

Hawin Alaina  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi hewan kurban di Pasar Hewan Pon Ambarawa, Kabupaten Semarang. (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, UNGARAN — Merebaknya kasus antraks di Gunungkidul, Yogyakarta membuat Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang melakukan sejumlah upaya pencegahan.

Pasalnya, di Kabupaten Semarang pernah menjadi salah satu daerah endemis antraks atau pernah ditemukan kasus antraks.

Advertisement

Berdasarkan data di Dispertanikap Kabupaten Semarang, kasus antraks pernah ditemukan di salah satu perusahaan di daerah Patemon, Tengaran pada tahun 1991. Pada saat itu, jumlah kematian mencapai 1.550 ekor sapi perah.

Setelah kasus antraks pada tahun 1991 itu, sampai saat ini sudah tidak ada lagi temuan kasus yang disebabkan oleh antraks.

Advertisement

Setelah kasus antraks pada tahun 1991 itu, sampai saat ini sudah tidak ada lagi temuan kasus yang disebabkan oleh antraks.

“Berbagai upaya kami lakukan untuk bisa tetap membuat zero kasus antraks di Kabupaten Semarang. Bagaimanapun, kasus tersebut pernah ditemukan di sini sehingga Kabupaten Semarang menjadi endemis antraks,” kata Kepala Dispertanikap Kabupaten Semarang, Moh., Edy Sukarno, Rabu (12/7/2023).

Berbagai upaya yang dilakukan Dispertanikap Kabupaten Semarang, lanjut Edy, yakni pemberian vaksinasi antraks dan pengobatan suportif vaksinasi antraks pada hewan ternak sehat (mencapai 1.800 dosis), melakukan surveilans antraks (dengan uji identifikasi bakteri antraks, utamanya tanah bekas lokasi yang hewan ternaknya pernah terpapar antraks dan kandang-kandang peternakan lainnya).

Advertisement

“Upaya lainnya melakukan pengawasan lalu lintas ternak di pasar hewan yang ada di Kabupaten Semarang,” imbuh Edy.

Edy mengatakan pengawasan lalu lintas ternak di Pasar Hewan ini dilakukan oleh petugas kesehatan hewan, yakni medik dan paramedik terhadap ternak-ternak yang diperjualbelikan di pasar hewan yang ada di Kabupaten Semarang. Hal itu seperti Pasar Hewan Ambarawa, Pasar Hewan Kaliwungu, Pasar Hewan Suruh, Pasar Hewan Kembangsari, Bringin, dan Pasar Hewan Sumowono.

Adapun pengawasan lalu lintas ternak di antaranya berupa pemeriksaan kesehatan terhadap ternak yang masuk ke pasar hewan dengan tindak lanjut untuk penyakit tidak menular atau penularan rendah dengan cara pengobatan.

Advertisement

“Sedangkan untuk penyakit dengan tingkat penularan tinggi, seperti PMK, LSD, antraks, dan PPR maka akan dipulangkan ke daerah asal hewan ternak itu,” katanya.

Upaya lainnya lagi, berupa sosialisasi dan edukasi serta penyebaran informasi ke masyarakat luas tentang bahaya antraks dan penyakit menular endemis lainnya.

“[Sosialisasi] di 19 kecamatan di Kabupaten Semarang,” ucap Edy.

Advertisement

Kabid Kesehatan Hewan dan Masyaraket Veteriner (Kesmavet) Dispertanikap Kabupaten Semarang, Yohana Diah Haryuni, mengatakan ciri-ciri khusus hewan ternak yang terkena penyakit antraks, seperti hewan itu akan gelisah, disertai demam tinggi pada awal infeksi, kesulitan bernapas, kejang, hingga menyebabkan kematian.

Namun ada juga kasus hewan ternak tidak muncul tanda-tanda awal atau menunjukkan gejala klinis terinfeksi bakteri antraks. Sehingga hewan bisa langsung tiba-tiba mati mendadak.

“Bisa juga dengan ciri keluarnya darah kental yang berwarna kecokelatan dari lubang tubuh seperti hidung, mulut, telinga, dan anus,” bebernya.

Yohana mengatakan penularan antraks ke manusia biasanya berawal dari manusia melakukan kontak langsung ke hewan. Hal itu bisa dari saat memotong hewan itu, mengolah atau proses pemotongan/pencucian, proses pemasakan daging hewan yang sudah terkontaminasi oleh antraks hingga mengkonsumsinya.

“Jadi sedari awal manusia memotong hewan yang terkontaminasi antraks inilah, si manusia sudah tertular penyakit yang disebabkan oleh bakteri itu melalui udara lewat hidung atau melalui kulit. Soalnya spora bakteri itu mudah menempel saat proses pengolahan daging hewan yang terkena antraks,” kata Yohana.

Adapun proses dan prosedur penguburan hewan yang sudah mati dan dinyatakan terkena penyakit yang disebabkan bakteri itu sebaiknya dilakukan petugas khusus.

“Ya sebaiknya penguburan dilakukan petugas khusus karena selain harus menggunakan APD dan syarat lainnya secara medik dalam proses penguburan, tentu hal ini akan jauh lebih aman bagi manusia sekitar. Lubang penguburan harus dalam, minimal sedalam dua meter dan tidak diperbolehkan untuk digali kembali, apalagi dikonsumsi,” kata Yohana.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif