SOLOPOS.COM - Ilustrasi sanksi KPI (Kpi.go.id)

Sanksi KPI diberikan kepada empat stasiun televisi swasta yang dikelola oleh politikus.

Semarangpos.com, SEMARANG – Pemberian sanksi teguran tertulis dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada empat stasiun televisi swasta mengundang reaksi dari praktisi komunikasi di Semarang.

Promosi Siap Layani Arus Balik, Posko Mudik BRImo Hadir di Rute Strategis Ini

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang, Gunawan Witjaksana, menilai sanksi dari KPI itu sudah tepat. Meski demikian, pihaknya berharap adanya sanksi itu membuat pemerintah mulai berpikiri untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang memuat ketentuan melarang politikus mengelola media.

“Telah tiba waktunya revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur tentang larangan politikus mengelola media,” ujar Gunawan seperti dikutip laman berita Antara, Sabtu (13/5/2017).

Sebelumnya, KPI telah memberikan sanksi teguran tertulis kepada empat stasiun televisi swasta yang dikelola politikus Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo, yakni RCTI, Global TV, I-News, dan MNC.

KPI mengeluarkan sanksi itu karena keempat stasiun televisi itu tak mengubris surat edaran terkait pelarangan penanyangan iklan politik di luar masa kampanye.

Menurut Gunawan, bila mereka berdalih tidak ada dalam struktur manajemen pengelolanya, sangatlah sulit menghindarkan faktor sosiologi media (media organizer yang di dalamnya tidak lepas dari owners) yang akan berpengaruh pada produksi siarannya.

Setiap media penyiaran, termasuk televisi, lanjut Gunawan, pada hakikatnya oleh Negara dipinjami frekuensi milik publik melalui Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).

Oleh karena itu, sebagai peminjam frekuensi sesuai dengan aturan yang ada serta amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang menyebut bahwa bumi dan kekayaan alam dikelola oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat haruslah menghayatinya secara benar.

Dengan cara itu, menurut dia, pengelola televisi tentu akan berpikir seribu kali manakala akan menggunakan frekuensi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, bahkan terkesan mengakali rakyat, antara lain, melalui tayangan kampanye yang dari sisi ilmu komunikasi jelas memanfaatkan Teori Dramatisme yang penuh dengan metafora theatrical, alias akting.

“Seolah tidak ada yang salah bila televisi untuk media kampanye, termasuk kampanye politik. Toh, iklan produk pun merupakan kampanye,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya