SOLOPOS.COM - Ilustrasi lontong tuyuhan. (visitjawatengah.jatengprov.go.id)

Solopos.com, REMBANG — Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Jateng), terkenal dengan aneka kuliner legendaris yang hingga kini masih banyak diminati, salah satunya adalah lontong tuyuhan. Berikut sejarah lontong tuyuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kisah perjuangan rakyat Lasem, Rembang, dalam melawan VOC atau penjajah Belanda.

Lontong tuyuhan merupakan makanan yang hampir menyerupai opor. Rasanya pedas, gurih dan membuat yang mengonsumsi merasa ketagihan. Makanan ini disebut lontong tuyuhan karena pembuat dan penjual makanan ini dari Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang.

Promosi BRI Sukses Jual SBN SR020 hingga Tembus Rp1,5 Triliun

Kendati bentuknya sederhana, lontong tuyuhan rupanya memiliki nilai sejarah yang panjang. Dikutip dari berbagai sumber, lontong tuyuhan lahir dan berkembang di sebuah kampung kecil di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Rembang

Menurut cerita, dulunya penjual lontong tuyuhan saat berkeliling kampung ke kampung menjual makanan ini dengan menggunakan pikulan. Hal tersebut dilakukan sebagai penyamaran ketika terjadinya Perang Lasem pada tahun 1734.

Bentuk lontongnya yang tidak berubah menjadikan ciri khas lontong tuyuhan sampai saat ini. Yakni berbentuk segitiga dan di kaitkan dengan tiga tusuk yang konon menganut ajaran sunah rasul.

Menurut Ketua Fokmas Rembang dan Pegiat Budaya Lasem, Ernantoro, Lontong tuyuhan dulunya merupakan makanan manakib yang dihidangkan untuk para santri dan sebagai rangkaian syiar dari seorang tokoh ulama, dari keturunan Mbah Sambu, yakni Mbah Jumali.

Tahun 1734 yaitu pada saat Belanda menyerang Lasem, yang merupakan rangkaian dari Perang Kuning, Mbah Jumali pergi ke selatan Lasem dan mencari tempat di tepi sungai. Kemudian ia membangun gubuk kecil bersama para santrinya.

Saat menyebarkam agama Islam, Mbah Jumali tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga sering memberikan santri-santrinya hidangan manakib berupa lontong opor berkuah pedas berisi ayam kampung. Pada saat itu, para penjual lontong tuyuhan membawa dagangannya dengan dipikul berkeliling kampung, dengan tanda lampu yang terbuat dari potongan pelepah pisang yang dibelah menjadi tiga bagian kemudian dikaitkan dengan tiga tusuk. Hal ini digunakan untuk tanda para santri karena situasi di Lasem masih mencekam akibat serangan Belanda ke Lasem pada tahun 1734.

Secara garis besar, lontong tuyuhan adalah makanan yang dihidangkan kepada santri karena Mbah Jumali memiliki strategi dakwah Islam melalui makanan dan juga dijadikan sebagai strategi pertahanan Lasem saat itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya