SOLOPOS.COM - Sejumlah kendaraan menerobos jalan yang tergenang banjir di jalur Pantura, Desa Jati Wetan, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (2/3/2023). Banjir akibat curah hujan tinggi dengan ketinggian mencapai 30 sentimeter itu menyebabkan kemacetan dari arah Kudus menuju Semarang. (Dok. Solopos.com-Antara/ Yusuf Nugroho)

Solopos.com, SEMARANG — Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), menempati urutan kedua dalam daftar kota tercepat tenggelam di dunia versi Geophysical Research Letters. Hal itu didasarkan data penurunan permukaan tanah di Kota Semarang yang setiap tahunnya mencapai 3,96 cm per tahun dalam kurun 2015-2020.

Ahli hukum lingkungan dari Universitas Katolik (Unika) Seogijapranata, Benny D. Soetianto, menilai kekhawatiran itu bisa saja terjadi. Hal tersebut menyusul kurang tegasnya Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dalam mengatasi persoalan land subsidence atau penurunan permukaan tanah.

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

“Lapisan tanah dataran rendah di Semaran itu aluvial, tanah lunak, gampang turun. Kemudian, sedimentasinya justru membuat permukaan air laut gampang masuk daratan dibandingkan membuang air daratan ke laut,” ujar Benny kepada Solopos.com, Selasa (6/6/2023).

Persoalan land subsidence di Kota Semarang saat ini juga turut diperparah dengan pengambilan air bawah tanah yang masif. Pengambilan air bawah tanah yang masih longgar ini disinyalir karena Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Kota Semarang yang belum bisa sepenuhnya menjamin suplai air bagi masyarakat.

“Masih diragukan [kebutuhan air], baik kuantitas yang mengarah ke ketercukupan, keterjangkauan, ada air harga mahal kan percuma, aksesibilitas enggak ada. Kedua aspek kualitas, datang [ada air] tapi tak bisa dimanfaatkan, kan pecuma. Nah ada kelemahan di situ [pengambilan air tanah], maka seolah-olah pemerintah membiarkan ketika warganya melakukan pengambilan air bawah tanah. Padahal, itulah yang membuat risiko Semarang bawah tenggelam lebih cepat. Di mana hampir 40 persen kota Semarang ada di bawah,” jelasnya.

Daerah Serapan

Tak hanya itu, daerah serapan area dan daerah tangkapan air di Semarang juga sudah banyak beralih fungsi. Hal itu turut menyumbang percepatan penurunan muka tanah hingga membuat Semarang menempati peringkat kedua sebagai kota tercepat tenggelam di dunia, setelah Tianjin di Tiongkok.

“Tangkapan area hampir enggak ada. Semua hampir berubah. Tepi muara [hilir] jadi perumahan, rumah, perkampungan. Padahal itu [tepi muara] untuk penampungan air, bukan resapan. Karena resapan itu di daerah hulu [perbukitan] Semarang. Kalau mau bikin biopori bukan di Semarang bawah, percuma, karena bukan resapan, yang keluar malah intrusi air laut,” bebernya.

Untuk mengembalikan konsep daerah serapan area dan daerah tangkapan area, Benny menegaskan perlu pengetatan rasio bangunan daerah bawah dan pengetatan pepohonan daerah perbukitan. Di tambah perlunya biopori pada daerah atas untuk menangkap air yang turun ke daerah bawah.

“Perlu dicermati di sini. Apalagi lahan terbuka itu tidak semata-mata hanya safana, padang rumput, tampak mata hijau. Tapi juga berfungsi sebagai resapan air,” tegasnya.

Benny menambahkan, apabila permasalahan-permasalahan tersebut tak diberi perhatian serius, lambat laun penelitian dari Geophysical Research Letters yang menyebut Kota Semarang menjadi kota kedua yang cepat tenggelam di dunia bakal benar-benar terjadi. Jangka pendeknya, luasan kawasan yang terkena banjir di Kota Semarang bakal bertambah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya