Jateng
Kamis, 9 Desember 2021 - 14:59 WIB

Tikus Pithi Noto Baris Tertulis di Ramalan Jayabaya, Ini Maknanya

Chelin Indra Sushmita  /  Newswire  /  Chelin Indra Sushmita  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi ramalan Raja Jayabaya (Sumber: Okezone.com)

Solopos.com, SOLO — Ramalan Jayabaya merupakan salah satu mitos yang masih dipercaya sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini. Salah satu ramalan tersebut adalah Tikus Pithi Anoto Baris.

Dihimpun dari berbagai sumber, Kamis (9/12/2021), tikus pithi adalah simbol rakyat jelata yang memiliki angan-angan dan cita-cita untuk meraih mimpi. Namun mimpi itu tidak pernah terwujud karena ulah para penguasa yang korup dan bertundak semaunya sendiri. Akibatnya rakyat kecil ini pun bersatu mencari jalan untuk menentukan hidupnya sendiri guna menggapai impian.

Advertisement

Baca juga: Asal-Usul Ramalan Jayabaya

Tikus pithi dalam konteks ramalan Jayabaya bisa dimaknai sebagai simbol anak muda dalam Kerajaan Kediri. Budayawan Sujiwo Tejo dalam tulisannya berjudul; “Waspadai Ramalan Ke-7 Joyoboyo” menafsirkan ramalan ketujuh Joyoboyo itu sebagai barisan pemberontakan rakyat nusantara dari berbagai penjuru.

Dikutip dari Liputan6.com, jika ditelaah lebih jauh, tikus selama ini dimaknai sebagai binatang rakus yang dipakai untuk menggambarkan koruptor. Maka, jika digabungkan menjadi satu kalimat atau istilah, menurut seorang dalang, ramalan ketujuh Jayabaya itu berarti kelompok koruptor yang berbaris menanti jatah dan kesempatan.

Advertisement

Baca juga: Ramalan Jayabaya: Jawa Berkalung Besi

Sujiwo Tejo memaknai tikus pithi anoto baris sebagai kalimat yang menggambarkan ketamakan manusia dalam sistem yang kendur. Menurutnya tikus pithi bisa dimaknai sebagai pemberontakan rakyat dari penjuru Nusantara. Ramalan ini memang belum terjadi, namun mestinya memjadi peringatan bagi semua pihak agar tidak ada kejadian seperti itu.

Seperti diketahui, ramalan Jayabaya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jawa sebagai mitos. Munculnya kepercayaan terhadap ramalan itu terjadi karena masyarakat Jawa yang memiliki ilmu titen dan kebiasaan menghubungkan peristiwa dengan ucapan para pujangga alias othak-athik-gathuk.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif