SOLOPOS.COM - Lapangan Pancasila yang menjadi landmark Kota Salatiga. (Solopos.com-Hawin Alaina)

Solopos.com, SALATIGA –– Masyarakat atau penduduk Kota Salatiga disebut-sebut memiliki pengeluaran paling tinggi atau terboros dibandingkan dari daerah lain di Jawa Tengah (Jateng). Meski demikian, hal itu dibantah pakar ekonomi atau ekonomi dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Prof Dr Gatot Sasongko SE, MS.

Menurut Gatot, data yang ditampilkan Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng itu kurang valid saat pengambilan sampel. Ia pun menilai warga yang menjadi bahan sampel kemungkinan baru saja mendapatkan pesangon sehingga konsumsi atau pengeluarannya menjadi besar.

“Kami duga kurang cermat ambil sampel. Yang diwawancara, yang terambil sampel adalah warga yang habis mendapat pesangon. Konsumsinya menjadi besar,” ujar Gatot kepada Solopos.com, Kamis (2/3/2023).

Mengacu pada data BPS Jateng yang dirangkum dalam Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2023, pengeluaran penduduk Salatiga setiap bulannya pada tahun 2022 tergolong paling besar atau terboros dibanding daerah lain di Jateng. Setiap bulan, masyarakat Salatiga menghabiskan biaya mencapai Rp2.394.280, yakni untuk biaya makan Rp858.244 dan kebutuhan atau biaya non-makanan sekitar RP1.536.037.

Angka itu pun lebih tinggi dari upah minimum kabupaten/kota (UMK) Salatiga pada 2023 yang hanya berkisar Rp2.284.179,97 atau 2,28 juta. Bahkan, pengeluaran warga Salatiga setiap bulan ini lebih tinggi dari warga di daerah Kota Semarang yang mencapai RpRp1.973.169 atau Rp1,97 juta, yang memiliki UMK tertinggi di Jateng, yakni Rp3,06 juta.

Gatot pun menilai secara riil konsumsi masyarakat Salatiga sebenarnya tidak lebih tinggi dibandingkan penduduk Kota Semarang. Hal itu dikarenakan pendapatan atau UMK Kota Salatiga masih berada jauh di bawah UMK Kota Semarang.

“Menurut saya [pengeluaran per bulan] di kisaran angka Rp2 juta sampai Rp2,1 juta,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Kepala Program Studi (Kaprodi) S1 Ekonomi UKSW Salatiga itu.

Meski demikian, angka itu selisihnya sangat tipis dengan UMK Salatiga. Apalagi, menurutnya, saat ini masih banyak UMKM di Salatiga yang membayar gaji karyawan di bawah UMK.

“Saya tidak setuju upah murah, tetapi UMK yang tidak pasti dan terlalu tinggi bisa berdampak pada menurunnya minat investasi di Salatiga. Formula upah perlu ditetapkan dengan memperhatikan berbagai aspek,” terangnya.

Selain itu, Gatot menilai tingginya pengeluaran penduduk Kota Salatiga juga banyak terserap pada sektor pendidikan. Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat Salatiga terhadap pendidikan semakin meningkat.

Hal itu juga dibuktikan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Salatiga yang tertinggi di Jateng, yakni 84,35. Oleh karenanya, ia pun sepakat jika kebijakan terkait anggaran 20% untuk pendidikan tetap dipertahankan melalyi Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan beberapa beasiswa. “Sehingga kesempatan belajar semakin terbuka terutama masyarakat yg kurang mampu,” jelas dia.

Rekomendasi
Berita Lainnya