SOLOPOS.COM - Ilustrasi nyamuk Aedes aegypti. (Freepik)

Solopos.com, SEMARANG – Sepanjang Januari hingga Mei 2024, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mencatat ada sebanyak 6.421 kasus demam berdarah dengue (DBD) di wilayahnya. Dari jumlah sebanyak itu, 158 kasus di antaranya berujung kematian.

Sementara dari 35 kabupaten/kota di Jateng, kasus paling banyak ditemukan berasal dari Klaten. Total ada sekitar 512 kasus DBD yang ditemukan di Klaten sepanjang 2024, dengan jumlah korban meninggal dunia mencapai 25 orang.

Promosi Fokus Segmen UMKM & Ultra Mikro, Analis Rekomendasikan Saham BBRI

Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Jateng, Irma Makiah, mengatakan data tersebut merupakan temuan sepanjang Januari hingga awal Mei 2024. Adapun kasus DBD paling tinggi terjadi pada pekan ke-12 atau ketika pergantian musim hujan ke musim kemarau, yakni bulan April.

“Penyebab [April kasus tertinggi] karena perubahan iklim [hujan ke kemarau],” kata Kabid P2P melalui Sub Kordinator Penyakit Menular dan Tak Menular, Heri Purnomo, kepada Solopos.com, Jumat (24/5/2024)

Selain Klaten, Dinkes Jateng juga mencatat kasus DBD terbanyak di Jaten berada di Kabupaten Banyumas dan Grobogan. Total ada 489 kasus DBD yang ditemukan di Banyumas dan 466 kasus DBD di Grobogan.

Selain kasus terbanyak, Klaten juga menjadi daerah dengan jumlah korban meninggal akibat DBD terbanyak dengan 25 orang. “Sementara kematian tertinggi kedua di Kabupaten Jepara dengan 21 kasus dan disusul Kendal dengan 18 orang,” ungkap Heri.

Sementara bila berkaca dari lima tahun kebelakang, kasus DBD di Jawa Tengah cenderung mengalami kenaikan. Sebab, terlihat dari awalnya pada 2020 yang diangka 5.678 kasus kemudian turun menjadi 4.468 kasus pada 2021, mendadak meroket pada 2022 atau mencapai 12.476 kasus.

Kendati meroket signifikan, pada 2023 kasus DBD mengalami penurun kembali di angka 6.308 kasus. Namun, pada 2024 cut off awal Mei ini, kasus sudah kembali melonjak di angka 6.421 kasus atau melebih total kasus sepanjang 2023 itu.

Heri mengungkapkan ada banyak faktor yang menjadi penyebab lonjakan kasus DBD di Jateng. Faktor itu antara lain perubahan iklim, Gerakan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) yang cenderung stagnan, fogging tidak sesuai indikasi, keterbatasan logistik, kurangnya edukasi ke masyarakat, hingga penanganan atau diagnosis yang terlambat.

“Oleh karena itu, tindak lanjut kami adalah survailens ketat saat ini. Kemudian setiap kasus dilakukan penyelidikan epidemiologi 1×24 jam setelah diagnosis tegak, fogging sesuai indikasi dan evaluasi terus secara menyeluruh,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya