SOLOPOS.COM - Wayang Othok Obrol Wonosobo. (Istimewa/YouTube Disparbud Wonosobo)

Solopos.com, WONOSOBOWayang merupakan seni pertunjukan yang sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha.

Sampai sekarang kesenian ini masih bisa ditemukan di beberapa acara, meskipun jumlahnya masih tergolong sedikit. Selain sebagai sarana hiburan, pertunjukan wayang juga memberikan pesan moral kehidupan bagi penontonnya.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Semakin berkembangnya zaman, keberadaan kesenian wayang di Nusantara sudah semakin jarang. Salah satunya seperti Wayang Othok Obrol yang kini sudah resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.

Dengan usaha para pelaku seni dan pihak terkait serta adanya tempat pendidikan yang menggiatkan kesenian termasuk wayang diharapkan mampu menghidupkan kembali kearifan lokal ini.

Dilansir dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Wayang Othok Obrol berasal dari dialek bahasa Jawa yaitu dari frasa ‘uthuk ubrul’.

Frasa tersebut banyak digunakan untuk menggambarkan keadaan yang terkesan seadanya atau improvisasi. Kosakata lain yang serupa dan lebih eloknya bermakna kesederhanaan.

Menurut buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol yang dihimpun Paguyuban Penilik Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, kesenian ini berkembang sejak era Sultan Agung di Mataram dengan dalang Ki Ganda Wiradipa dari Traji (Parakan, Temanggung) sebagai cikal bakalnya.

Berdasarkan cerita turun-temurun, peraga wayang ini lahir secara ajaib di hadapan Sultan Agung di Mataram. Ketika Ki Ganda Wiradipa memukul selembar kulit perkamen dengan tongkat gadingnya.

Kulit perkamen tersebut pecah berkeping-keping kemudian berubah menjadi sekotak peraga wayang (130 buah). Peraga inilah yang diyakini menjadi dasar bentuk wayang yang digunakan dalam kesenian Othok Obrol, yakni wayang Kedu.

Sebagai varian dari pakeliran gaya Kedu Wanasaban, iringan Wayang Othok Obrol memiliki ciri gendhing bergaya Kedu, dengan saron yang dimainkan bersahutan satu sama lain. Selain itu, denting kepraknya juga beradu dengan instrumen bernama kencer.

Hal itulah yang membuat iringan gamelannya terkesan ramai dan gagah. Perpaduan antara wayang kulit dengan keawaman penabuh inilah yang melahirkan Othok Obrol, genre yang terkesan kurang serius penuh ‘obrol’, namun tetap nikmat dalam keterbatasannya.

Seperti halnya Wayang Purwa, Wayang Othok Obrol juga membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana serta beberapa lakon carangan seperti Murti Serat, Semar Supit hingga Semar Cukur.

Wayang Othok Obrol pun memiliki satu tokoh yang tidak dijumpai di pewayangan lain, yakni Puthut Megajendra. Tokoh ini merupakan murid dari Begawan Abiyasa (kakek para Pandhawa) yang divisualisasikan menggunakan peraga wayang Gathutkaca (putra Bima).

Dengan lakon yang merakyat, ringan, namun sarat makna, Wayang Othok Obrol pernah sangat populer di Wonosobo. Terlebih lagi biaya operasionalnya cukup terjangkau karena hanya membutuhkan satu dalang dan delapan niyaga tanpa sinden.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya