SOLOPOS.COM - Jembatan Berok penguhubung Kota Lama dan kawasan bisnis Kota Semarang. (Panoramio.com)

Wisata Semarang menyuguhkan banyak destinasi wisata sejarah, salah satunya di kawasan Kota Lama yang kaya bangunan kuno.

Semarangpos.com, SEMARANG – Kota Semarang adalah kota yang menyimpan banyak kisah sejarah. Banyak bangunan di Kota Atlas itu yang berdiri sejak zaman kolonial Belanda dan masih dipertahankan bentuk aslinya.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Jika Jakarta mempunyai kawasan Kota Tua, maka Semarang memiliki kawasan Kota Lama. Kota Lama adalah sebuah kawasan yang banyak berdiri bangunan kuno peninggalan Kolonial Belanda. Kawasan Kota Lama terletak di Jl. Letjen Suprapto, Tanjung Emas, Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).

Dikutip dari Wikipedia, Kota Lama Semarang adalah suatu kawasan di Semarang yang menjadi pusat perdagangan pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, kawasan itu dibangun benteng yang bernama Vijhoek. Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang di benteng itu maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai Heeren Straat yang saat ini bernama Jl. Letjen Suprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang dulunya bernama De Zuider Por.

Kawasan Kota Lama juga mendapat julukan sebagai Little Nertherland karena banyak bangunan tua peninggalan Kolonial Belanda yang memberikan suasana di kawasan tersebut seperti suatu daerah di Belanda. Lalu apa saja bangunan tua di kawasan Kota Lama Semarang yang menyimpan banyak sejarah? Berikut ini Semarangpos.com menyuguhkan lima bangunan kuno di Kota Lama Semarang yang menyimpan banyak sejarah yang dirangkum dari berbagai sumber. (Ginanjar Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

KLIK DI SINI untuk mulai dari Gereja Blenduk…

Gereja Blenduk di kawasan Kota Lama Semarang. (Visitsemarang.com)

Gereja Blenduk di kawasan Kota Lama Semarang. (Visitsemarang.com)

Gereja Blenduk
Gereja Blenduk adalah yang diyakini banyak kalangan sebagai gereja tertua di Jawa Tengah (Jateng). Gereja ini dibangun pemerintah colonial Belanda pada 1753. Gereja ini kini dikenal dengan nama Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel. Julukan Gereja Blenduk disematkan warga karena bentuk atap bangunan yang berbentuk kubah bulat seakan melembung yang dalam bahasa Jawa diartikan mblenduk.

Dengan Usianya yang lebih dari 250 tahun, gereja di kawasan Kota Lama Semarang ini menjadi saksi sejarah kala Indonesia masih di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda. Gereja yang menghadap ke selatan ini memiliki lantai bangunan yang hampir sama tinggi dengan jalan di depannya. Fondasi yang digunakan terbuat dari batu dan sistem strukturnya dari bata. Atap bangunan berbentuk kubah yang dilapisi perunggu yang ditopang kayu jati. Pada kubah terdapat lubang cahaya yang menyinari ruangan dalam yang luas.

Dikutip Semarangpos.com dari Visitsemarang.com, gereja ini memiliki dua menara di kiri dan kanan bangunan utama yang denah dasarnya berbentuk bujur sangkar, namun pada lapisan paling atas berbentuk bundar. Menara ini beratap kubah kecil dengan ornamen di sekililing bangunan berbentuk garis-garis mendatar.

Pintu masuk gereja ini adalah pintu ganda dari panel kayu dengan ambang atas pintu berbentuk lengkung. Demikian pula dengan ambang atas jendela yang berbentuk busur. Tipe jendela di Gereja Blenduk ada dua, pertama jendela ganda berdaun krepyak, dan kedua merupakan jendela kaca warna-warni berbingkai.

Bangunan yang terkait di sekitar Gereja Blenduk adalah Gedung Jiwasraya yang terletak di sebelah Selatan, kantor Kerta Niaga di sebelah Barat, dan ruang terbuka bekas Parade Plein di sebelah Timurnya.

Gereja Blenduk sudah berganti rupa beberapa kali. Pada awalnya, gereja ini berbentuk rumah panggung Jawa dengan atap yang sesuai dengan arsitektur Jawa. Hal ini dapat dilihat pada peta kota Semarang 1756 yang menunjukkan konfigurasi masa yang berbeda dari sekarang. Pada 1787 rumah panggung ini dirombak total. Tujuh tahun berikutnya diadakan kembali perubahan. Pada 1894, gedung ini dibangun kembali oleh H.P.A. de Wilde dan W. Westmas dengan bentuk seperti sekarang ini dengan dua menara dan atap kubah. Keterangan mengenai Wilde dan Wetmas tertulis pada kolom di belakang mimbar Gereja Blenduk. (Ginanjar Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

KLIK DI SINI untuk melanjutkan ke Stasiun Tawang…

Stasiun Tawang di Kota Semarang. (Panoramio.com)

Stasiun Tawang di Kota Semarang. (Panoramio.com)

Stasiun Tawang
Stasiun Tawang adalah stasiun kereta api terbesar di Kota Semarang. Dikutip dari Wikipedia, Stasiun Tawang adalah stasiun kereta api tertua di Indonesia yang masih aktif hingga sekarang. Stasiun ini diresmikan pada 19 Juli 1868 oleh Perusahaan Kereta Api Belanda atau  Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).

Stasiun ini juga menjadi saksi bisu masa suram Indonesia di bawah pemerintah kolonial Belanda. Dengan usia yang lebih dari satu abad, stasiun ini masih dipergunakan sebagai stasiun kereta api tipe A.

Pada awal pembangunannya, Stasiun Tawang mempunyai jalur yang menghubungkannya dengan Stasiun Tanggung di Grobogan. Pada 1873 jalur ini diperpanjang hingga Stasiun Solo Balapan dan berlanjut hingga Stasiun Lempuyangan di Jogja. Dulu, selain jalur rel ke Stasiun Semarang Gudang, terdapat juga rel menuju Demak yang kini sudah tidak dipergunakan lagi.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) berencana membuka kembai jalur ke Demak tersebut. Di sisi utara stasiun ini juga akan dibangun terminal peti kemas. Hal ini dilakukan guna mempermudah proses pengangkutan peti kemas menuju ke Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.

Seperti dikutip Semarangpos.com dari Semarangkota.com, saat ini Stasiun Tawang rawan terendam banjir jika musim hujan tiba. Selain curah hujan yang tinggi dan air pasang laut Jawa, hilangnya area resapan di sebelah utara stasiun menjadi penyebab utama banjir di Stasiun Tawang. Rawa yang dahulu melingkupi bagian utara stasiun sejak 1985 berubah menjadi pemukiman.

Banjir merupakan hantu yang harus dihadapi bangunan Stasiun Tawang. Namun, gunungan sampah di tambak sebelah timur stasiun juga musuh utama yang harus dihadapi. Dampaknya, perjalanan kereta api melalui jalur utara di Jawa menjadi terganggu. Untuk mengatasi masalah itu, telah tiga kali dilakukan pengurukan lantai bangunan. Tak hanya bangunan yang ditinggikan, jalur rel pun ikut ditinggikan. (Ginanjar Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

KLIK DI SINI untuk melanjutkan ke Stasiun Tawang…

Jembatan Berok penguhubung Kota Lama dan kawasan bisnis Kota Semarang. (Panoramio.com)

Jembatan Berok penguhubung Kota Lama dan kawasan bisnis Kota Semarang. (Panoramio.com)

Jembatan Berok
Jembatan Berok Semarang merupakan jembatan yang yang membentang dari timur ke barat melintasi Kali Semarang. Jembatan ini menghubungkan antara Kota Lama dengan Jl. Pemuda. Jembatan ini dibentuk dari empat buah kolom utama dengan bentuk menyerupai obelisk, dan pada puncak kolom terdapat lampu yang cukup unik. Bentuk tiang jembatan berok menyerupai tiang pada taman di depan Stasiun Tawang. Pagar pembatas jembatan terbuat dari besi.

Dilansir Matasejarah.com, Jembatan Berok pada awalnya bernama Gouvernementsbrug yang kemudian diganti dengan Sociteisbrug, namun sekarang terkenal dengan sebutan Jembatan Berok. Nama Berok berasal dari masyarakat pribumi yang sulit mengucapkan kata Burg.

Kawasan yang dilewati Kali Semarang merupakan kawasan terpenting dari cikal bakal Semarang tempo dulu. Keberadaannya sangat dibutuhkan dan merupakan sarana transportasi penting dari pesisir pantai utara menuju darat. Mulai dari ekspedisi Belanda hingga Laksamana Cheng Ho (Sam Po Kong) pernah melewati kali Berok. Tak ayal,  jembatan Mberok dulu tak ubahnya dermaga kapal.

Meski bukan merupakan tempat melancong bagi para wisatawan, namun kebaradaan Kali Berok tidak bisa dipisahkan begitu saja dari tempat yang menarik seperti kawasan Kota Lama Semarang, Masjid Besar Kauman, Masjid Menara Jalan Layur, Pasar Johar, Pecinan, dan Stasiun Tawang.

Bersamaan dengan dibangunnya Jembatan Berok, telah terbuka akses dari Kota Lama menuju ke kota yang sekarang ini. Hal ini memudahkan para pengguna baik itu wisatawan, penduduk sekitar, maupun orang yang bekerja di dekat area jembatan tersebut.

Jembatan Berok adalah saksi sejarah yang tak terurus dengan baik saat ini. Jembatan Berok sekarang dikenal sebagai kawasan yang sering dijadikan tempat mangkal Pekerja Seks Komersial (PSK). Tak hanya jadi tempat mangkal PSK, di bawah jembatan yakni Kali Semarang yang dahulu sebagai jalur penting perdagangan, sekarang menjadi sungai bau karena aliran sungai yang tidak lancar. (Ginanjar Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

KLIK DI SINI untuk melanjutkan ke Gedung Marabunta…



Gedung Marabunta di kawasan Kota Lama Semarang. (klikhotel.com)

Gedung Marabunta di kawasan Kota Lama Semarang. (klikhotel.com)

Gedung Marabunta
Gedung Marabunta atau Gedung Semut adalah sebuah gedung yang belakangan hari ini disewakan untuk acara pernikahan atau yang lainnya. Gedung tua yang sudah berusia lebih dari satu abad ini sering kali dikaitkan dengan cerita mistis di kalangan masyarakat Kota Semarang. Cerita mistis yang paling populer di gedung ini adalah adanya sosok sepasang kekasih Belanda yang berdansa tiap malam di dalam gedung.

Terlepas dari cerita mistisnya, gedung ini sejatinya berfungsi sebagai gedung pertunjukan pada awal pembangunannya. Gedung ini mempunyai ciri khas patung semut besar di atapnya. Marabunta memiliki arti semut merah besar. Pada awalnya, gedung ini bernama Schouwburg, yang dalam bahasa Belanda berarti teater, dan tidak ada patung semut di atasnya. Pada zaman penjajahan, pemerintah kolonial Belanda membangun gedung ini pada 1854 untuk memenuhi kebutuhan hiburan orang belanda.

Dilansir jalan2.com, pada 1995, sebagian gedung ini direnovasi dan dibelah menjadi dua bagian. Proses pembangunan gedung Marabunta yang baru cukup rumit karena harus meraba-raba rupa gedung yang asli. Gedung hasil renovasi ada di sisi selatan Gedung Marabunta yang asli. Kedua bagian bangunan ini dipisahkan tembok baru. Beberapa plafon dan tiang yang ada di ruang pertunjukan asli digunakan lagi untuk membangun gedung Marabunta yang baru. Untuk kepentingan cagar budaya, plafon dan tiang bangunan asli tersebut tetap dipertahankan. Gedung bagian depan tak sama dengan bentuk aslinya, karena merupakan desain baru.

Setelah direnovasi, Gedung Marabunta memiliki jumlah tiang yang memiliki arti tanggal bulan dan tahun kemerdekaan Indonesia. Di sisi kanan gedung terdapat sembilan tiang, di bagian kiri ada delapan tiang, jika dijumlahkan ada 17 tiang. Angka 17 itu merupakan simbol tanggal kemerdekaan Indonesia. Tiang di sisi kanan dan kiri masing-masing berjumlah empat, jika dijumlah ada delapan, merupakan simbol bulan Agustus. Di bagian atas gedung ada 45 tiang, simbol tahun kemerdekaan Indonesia.

Jendela kaca berornamen sengaja ditambahkan ke gedung ini untuk menambah nuansa Eropa. Interior yang menempel dari atap hingga tiang semuanya asli. Gedung Marabunta saat ini sering disewa untuk acara-acara konser musik, pertemuan, dan resepsi pernikahan. (Ginanjar Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

KLIK DI SINI untuk melanjutkan ke Lawang Sewu…



Lawang Sewu di seputaran Tugu Muda, Jl. Pemuda, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng). (kemdikbud.go.id)

Lawang Sewu di seputaran Tugu Muda, Jl. Pemuda, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng). (kemdikbud.go.id)

Lawang Sewu
Lawang Sewu memang tidak berada tepat di kawasan Kota Lama Semarang, meski demikian Lawang Sewu terjangkau dari kawasan Kota Lama. Landmark Kota Semarang modern setelah dirangkai dengan Tugu Muda ini bisa dijangkau dari kawasan Kota Lama Semarang setelah berjalan lurus mengikuti jalan utama dari Jembatan Berok.

Gedung yang kini kondang dengan julukqan Lawang Sewu berdiri kokoh sejak 1907. Kini, bangunan lawas ini selalu dikaitkan dengan cerita mistis. Padahal, Lawang Sewu didirikan oleh Perusahaan Kereta Api Belanda atau  Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) sebagai kantor pusat perusahaan kereta api itu.

Setelah zaman berganti, Lawang Sewu sempat menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Semarang melawan pasukan Jepang. Pertempuran yang dikenal degngan Pertempuran Lima Hari itu terjadi di area sekitar lawang Sewu pada 14 Oktober-19 Oktober 1945. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini pernah digunakan sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah.

Dikutip Semarangpos.com dari Pegi-pegi.com, Lawang Sewu yang berarti seribu pintu, hanya memiliki 429 pintu yang masing-masing mempunyai dua daun pintu. Bangunan yang menjadi saksi bisu kelamnya masa penjajahan Belanda, membuat Lawang Sewu menjadi tempat yang penuh misteri di Jawa Tengah. Terlebih lagi, bangunan itu juga menjadi saksi sejarah tempat bertempurnya para pahlawan tanah air untuk mengusir para serdadu Jepang yang terakhir berkuasa. Termasuk saksi bisu ribuan pejuang Indonesia yang disiksa di lokasi itu.

Berdasarkan pengakuan warga di sekitar Lawang Sewu, ribuan makhluk gaib bermukim di gedung empat lokal tersebut. Bahkan, di titik-titik tertentu, mulai dari bagian sumur tua, pintu utama, lorong-lorong, lokasi penjara berdiri, penjara jongkok, penjara bawah tanah, ruang utama, serta di bagian ruang penyiksaan. Konon, di penjara bawah tanah adalah tempat para tahanan yang dimasukkan dan berdesak-desakan hingga meninggal dunia. Bukan rahasia lagi jika cerita misteri hantu seperti kuntilanak, genderuwo, hantu berwujud para tentara Belanda, serdadu Jepang, dan hantu wanita Belanda sangat kental terdengar di Lawang Sewu. (Ginanjar Saputra/JIBI/Semarangpos.com)

KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Semarang Raya





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya