Jateng
Kamis, 5 Oktober 2023 - 12:43 WIB

Dampak Kekeringan di Jawa Tengah, Krisis Air hingga Biaya Produksi Petani Naik

Adhik Kurniawan  /  Ponco Suseno  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi desa kekeringan. (Freepik.com)

Solopos.com, SEMARANG — Sejumlah warga di berbagai daerah di Jawa Tengah masih terdampak kekeringan di musim kemarau kali ini. Selain mengakibatkan krisis air bersih, dampak kekeringan juga dirasakan para petani karena biaya produksi tanaman padi mengalami kenaikan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jawa Tengah, menyebutkan 30 daerah di Jateng berstatus awas kekeringan. Kondisi itu menyusul tidak adanya hujan selama 60 hari berturut-turut di 30 daerah di Jateng itu. Misal pun terdapat hujan, curah hujan sangat rendah atau di bawah 50 mm.

Advertisement

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, terdapat 850 desa dari total 35 kabupaten/kota yang mengalami krisis air bersih hingga September 2023. Ratusan desa yang terdampak itu tersebar di 252 kecamatan. Total sudah ada 33.060.300 liter air bersih yang disalurkan hingga pertengahan September 2023.

“Sejauh ini total dari jumlah air yang terdistribusi ada di 32 kabupaten/kota,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Kedaruratan BPBD Jateng, Muhamad Chomsul, kepada Solopos.com, Jumat (15/9/2023).

Advertisement

“Sejauh ini total dari jumlah air yang terdistribusi ada di 32 kabupaten/kota,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Kedaruratan BPBD Jateng, Muhamad Chomsul, kepada Solopos.com, Jumat (15/9/2023).

Dari 32 kabupaten/kota, BPBD mencatat daerah yang terdampak kekeringan paling parah di Jawa Tengah berada di Kabupaten Blora, yakni ada 127 desa yang membutuhkan bantuan air bersih.

“Disusul Grobogan 118 desa dan Demak 55 desa. Ini data per 15 September,” bebernya.

Advertisement

“Kemudian juga mari kita berhemat air, memang kondisinya lagi seperti ini [kemarau dan kekeringan]. Jadi menabung air, menghemat air untuk digunakan seperlunya,” katanya.

Di sisi lain, kekeringan di Jawa Tengah dampak dari cuaca panas juga dirasakan para petani karena harus mengeluarkan biaya produksi lebih besar guna menjaga padi tetap berisi. Pembengkakan biaya produksi itu bahkan bisa mencapai 30 persen.

Ketua Rumah Petani Nelayan Nusantara Jawa Tengah, Riyono, mengatakan pembengkakan itu terjadi karena petani harus merogoh kocek lebih untuk menambah pemenuhan kebutuhan air di musim kemarau.

Advertisement

Hal itu belum lagi pemenuhan pupuk, benih padi, hingga obat pembasmi hama untuk menjaga kualitas tanaman padi tetap berisi.

“Jadi ada yang menambah pompa air sampai beli air. Perbandinganya bisa sampai 20-30 persen naiknya [biaya produksi]. Makin luas lahanya, makin besar. Misal per 1 hektarnya, kalau tidak kemarau itu hanya Rp3-4 juta. Tapi sekarang [musim kemarau] sedikitnya Rp6 juta,” terangnya, Rabu (4/10/2023).

Riyono pun berharap ada uluran tangan dari pemangku kebijakan di tiap kabupaten/kota. Sebab, musim kemarau yang belum berakhir ini semakin menambah momok bagi para petani.

Advertisement

“Tolong kabupaten/kota, petani yang kesulitan air bisa dibantu [dampak dari kekeringan di Jawa Tengah]. Kalau Dinas Pertanian punya pompa diesel, bantulah agar biayanya tak semakin besar,” harapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif