SOLOPOS.COM - Stasiun Purworejo Jawa Tengah. (KAI)

Solopos.com, PURWOREJO-Reaktivasi Stasiun Purworejo, Jawa Tengah, tentu bakal menghidupkan kembali jalur kereta api Kutoarjo-Purworejo sepanjang kurang lebih 11 km  karena itu kenali sejarahnya seperti apa? Bagi kamu penggemar wisata heritage, simak ulasannya di tips traveling kali ini.

Pada umumnya pembangunan jalur kereta api di Indonesia pada masa ko­lonial Belanda tidak lepas dari kepent­ingan pemerintah pada masa itu, yaitu un­tuk memudahkan angkutan komoditas ekspor hasil Tanam Paksa. Sebelumnya memang ada perdebatan di kalangan pemerintah sendiri mengenai seberapa penting pembangunan jalur kereta api di Hindia Belanda.

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Hal itu dapat diamati pada penye­lenggaraan angkutan kereta api pertama kali di lintas Semarang-Vorstenlanden-Willem I (Jawa Tengah) pada 1868. Pada pembangunan jalur kereta api pertama di Hindia Belanda itu justru dilakukan pe­rusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij. Bagi pemerintah kolonial, alasan biaya pembangunan yang mahal merupakan alasan utama, sehingga beresiko akan menyedot banyak anggaran dari negara.

Sebelum mengetahui sejarah jalur kereta api Kutoarjo-Purworejo, ketahui terlebih dahulu bahwa wilayah pemberian konsesi pun awalnya terbatas pada sekitar Semarang-Ambarawa-Surakarta. Karena menurut pertimbangan militer rencana itu cukup strategis yaitu untuk mendukung pergerakan tentara kolonial Be­landa. Hal itu menjadi penting apabila ter­jadi pemberontakan kembali di wilayah kerajaan di Solo dan Yogyakarta maka dengan mudah pemerintah kolonial meng­gerakkan pasukan dari Semarang dan Am­barawa.

Dikutip dari heritage.kai.id pada Jumat (6/10/2023), beberapa puluh tahun sebelumnya (1825-1830) di Jawa Tengah dan kawasan Vorstenlanden (wilayah raja-raja Jawa) pernah terjadi perang antara orang-orang keraton Yogyakarta dan sebagian Solo yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintah Hindia Belanda.

Konflik berdarah itu menimbulkan dampak merugikan di kedua belah pihak, baik dari pengikut Diponegoro dan sebagian besar penduduk Jawa mau pun pihak pemerintah kolonial. Akibat dari penanganan berlarut-larut menyebabkan biaya perang menjadi tidak sedikit bagi pemerintah.

sejarah jalur kereta api kutoarjo purworejo
Peta jalur kereta api Kutoarjo-Purworejo. (KAI)

Situasi itu ditam­bah kondisi keuangan negara yang belum pulih karena Perang Napoelon yang meluas hingga ke tanah jajahan baru saja usai. Kas negeri Belanda yang benar-benar kosong mendorong pemerintah kolo­nial membuat terobosan baru berupa men­jual hasil perkebunan yang layak jual di pasar Eropa. Berbagai jenis tanaman bernilai ekspor dibudidayakan di Hindia Belanda dalam sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa) oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch sejak 1830.

Di Purworejo, pemerintah kolonial juga menerapkan tanam paksa kepada pen­duduk setempat dengan menanam indigo (nila) di sebagian areal persawahannya. Produksi nila pada masa itu tergolong tinggi, karena sampai 1834 di Purworejo telah berdiri 4 buah pabrik pengolahan nila. Selain itu, wilayah pegunungan utara Purworejo juga merupakan sentra kopi yang sudah ditanam sejak sebelum Perang Jawa (1825-1830) meletus.

Kopi kualitas terbaik Purworejo dipanen dari kawasan Gunung Wangi. Zaman kolonial, kopi dari Gunung Wangi dikirim ke Yogyakarta dan Surakarta, umumnya dikonsumsi oleh para bangsawan Vorstenlanden. Sejak 1830, perkebunan kopi diperluas lagi terutama di pegunungan sebelah utara dan timur. Wilayah penghasil kopi ini tergolong wilayah yang cukup makmur.

Ada dua sungai besar yang mengalir di sekitar Purworejo, yaitu Sungai Bogowonto dan Sungai jali. Daerah Aliran Sungai Bogowonto yang mengalir di dekat kota Purworejo dibangun saluran irigasi teknis oleh pemerintah antara 1830-1837. Tujuannya untuk menambah are­al persawahan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi dan nila. Selain itu di bagian lain Purworejo juga ter­dapat perkebunan tebu dan pabrik gula Poerworedjo. Jadi jelaslah bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah penghasil produk per­tanian dan perkebunan yang penting.

Sejarah pembangunan jalur kereta api Kutoarjo-Purworejo tak lepas dari hasil bumi di wilayah tersebut dan kepentingan ekspor. Untuk mengangkut hasil tanaman ekspor di wilayah Jawa Tengah bagian Se­latan menuju pelabuhan utama di selatan Jawa (Cilacap), pemerintah melakukan kajian kemungkinan jalur kereta api antara Yo­gyakarta-Cilacap.

Pada 3 November 1880, Inspektur Jendral Dinas Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen), D. Maarschalk, menyerahkan proposal rancangan awal jalur kereta api yang menghubungkan Yo­gyakarta dan kota-kota di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pelabuhan Cilacap kepada pemerintah pusat.

Sementara itu Residen Bagelen, W. Lightvoet, dalam suratnya kepada Guber­nur Jenderal juga menegaskan akan pent­ingnya jalur kereta api di Pur­worejo. Hal itu tercantum dalam surat dari para Wali Negeri (Landvoogd) tanggal 14 September 1881, yaitu menginginkan agar pada rancangan awal jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap, jalur simpang/ percabangan menuju Purworejo patut dipertimbangkan. Alasannya adalah hasil bumi dari Purworejo cukup besar dan posisi wilayahnya juga cukup strategis dari segi militer, karena di kota Pur­worejo sendiri juga terdapat sebuah barak tentara.

Setelah terjadi perdebatan di par­lemen Belanda (Den Haag) yang cukup lama, akh­irnya rencana pembangunan jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap sejauh 176 km termasuk lintas cabang Kutoarjo-Purworejo sepan­jang 12 km disetujui. Rencana itu dikukuhkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) nomor 110 tertanggal 20 juli 1884. Persis tiga tahun kemudian pada tanggal yang sama, jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap berikut lintas cabang Kutoarjo-Purworejo diresmikan penggu­naannya.

Jalur Purworejo-Kutoarjo Sempat Dibongkar

Pada masa pendudukan militer Jepang, jalur Purworejo-Kutoarjo sempat dibongkar karena dianggap kurang memberi manfaat dalam rencana perang di Jawa. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, atas permintaan kepa­la daerah pada waktu itu Djawatan Kereta Api Republik Indonesia membangun kembali jalur KA Purworejo-Kutoarjo pada 1946

Sejarah jalur kereta api Kutoarjo-Purworejo juga tak lepas dari keberadaan Stasiun Purworejo yang berlokasi di Jalan Mayjend Sutoyo , tepatnya berada di Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah. Stasiun Purworejo pada periode 1910, memiliki struktur bangunan berupa material batu bata setinggi 8 m dan luas keseluruhan sekitar 848 m2.

Stasiun ini dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Negara bernama Staats Spoorwegen (SS). Pemerintah Kolonial Belanda saat itu sengaja membangun rel kereta api sepanjang 12 km dari Stasiun Besar Kutoarjo ke arah Purworejo, awalnya hanya dibangun rel saja namun seiring perkembangannya yang semakin ramai, pada tanggal 20 Juli 1888, Stasiun Purworejo dibuka dan diaktifkan.

Sejak 1901 jalur kereta api Purworejo-Kutoarjo itu pun semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat kala itu. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jateng telah memasukkan Stasiun Purworejo sebagai salah satu cagar budaya di Purworejo, dilindungi oleh negara dengan nomor Inventarisasi : 11-06/PWO/TB/36.

Stasiun Purworejo berada pada ketinggian +63m dpl. Sistem persinyalan masih memakai sistem sinyal mekanik Alkmar,dan uniknya tidak ada sinyal muka ataupun sinyal masuk,hanya ada sinyal keluar menuju arah Stasiun Kutoarjo. Di Stasiun ini juga mempunyai 2 Spoor,yang dahulunya mempunyai 1 spoor cabang menuju ke Balai Yasa (Werkplaants) milik Staats Spoorwegen (SS ).

Stasiun Purworejo saat ini dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia ( Persero) dan berada di Daerah Operasi 5 Purwokerto. Dilansir dari situs resmi KAI, stasiun tersebut mulai aktif digunakan masyarakat sejak 1901. Kemudian berhenti beroperasi pada 2010 lalu.

Sejarah jalur kereta api Kutoarjo-Purworejo juga tak lepas dari keberadaan Stasiun Kutoarjo.  Stasiun kereta api Kutoarjo (KTA) adalah stasiun kereta api kelas besar yang terletak di Desa Kutoarjo Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Stasiun yang terletak pada elevasi +16 m ini dikelola oleh PT KAI Daerah Operasi V Purwokerto. Di timur stasiun ini terdapat percabangan jalur menuju Purworejo sepanjang 9 km sebagai cabang dari jalur selatan utama yang menghubungkan Bandung dan Surabaya.

Saat ini, stasiun ini adalah stasiun pemberangkatan untuk Kereta api Sawunggalih Utama, Kereta Api Kutojaya Utara, keduanya menuju Jakarta dan KA Kutojaya Selatan menuju Bandung, serta KA Prambanan Ekspres, kereta komuter tujuan Stasiun Solo Jebres.

Kereta api ekonomi yang melintas jalur selatan akan berhenti di stasiun ini, sementara kereta kelas di atasnya yang singgah di stasiun ini mencakup KA Lodaya tujuan Solo Balapan dan Bandung, serta KA Taksaka II dari Yogyakarta untuk tujuan Jakarta, Kereta Api Fajar Utama Yogya tujuan Yogyakarta dan Jakarta Pasar Senen Karena stasiun ini merupakan stasiun ujung rel ganda yang menghubungkan Solo-Kutoarjo, semua kereta api baik eksekutif, bisnis, maupun ekonomi dari arah timur (Solo/Yogyakarta) diwajibkan untuk BLB (Berhenti Luar Biasa) di stasiun ini, karena dari rel ganda ke rel tunggal harus menunggu grafik baru untuk memastikan bahwa jalur di depan (rel tunggal) sudah aman untuk dilewati.



Dibandingkan Stasiun Purworejo, Stasiun Kutoarjo jauh lebih dikenal dan lebih sering dilewati kereta api. Sebelumnya, saat mendengar rencana aktivasi Stasiun Purworejo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo teringat kenangan masa mudanya saat menjadi tukang ojek.

“Ini kita di [Stasiun] Kutoarjo. Rumah orang tua saya ada di depan itu,“ ucap Ganjar saat mendampingi Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi melakukan ground breaking Terminal Bus Baru Tipe A di Purworejo Jawa Tengah dan meninjau Stasiun Purworejo pada Mei 2023 dikutip dari laman Pemprov Jateng pada Jumat (6/102023).

Gubernur Jateng dua periode itu menuturkan, dulu saat dirinya masih duduk di bangku SMA, perjalanan kereta api berhenti di Stasiun Kutoarjo. Saat itu, banyak anak muda yang menawarkan jasa ojek kepada penumpang kereta api.

“Jadi kalau kereta dulu berhentinya hanya di sini tidak terus ke Purworejo. Maka orang yang mau turun di Purworejo itu dulu berhenti di sini, di depan stasiun ini kita ngojek,” ujarnya.

Ganjar pun teringat ketika harus bersaing dengan tukang ojek yang lebih dulu mangkal di pintu keluar stasiun. Dia harus mengalah, menunggu penumpang di lokasi yang jaraknya sedikit lebih jauh dari pintu keluar stasiun.

“Kita ngalah, pas di gang pintu masuk sana. Jadi di sana kita bawa sepeda motor nanti [teriak] ojek, ojek, ojek. Waktu itu SMA, SMP kan belum berani. Jadi SMA liburan, apalagi lebaran, ya itu [ngojek],” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya