SOLOPOS.COM - Ilustrasi pakaian adat. (Solopos.com)

Solopos.com, SEMARANG — Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Semarang berencana menerapkan kebijakan bagi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di wilayahnya mengenakan pakaian adat Semarangan setiap Kamis di pekan pertama setiap bulannya. Kebijakan ini pun menuai kontroversi, terutama di kalangan orang tua atau wali murid yang merasa bebannya bakal bertambah.

Seorang warga Semarang Barat, Rita, 41, mengaku keberatan dengan kebijakan yang akan diterapkan bagi siswa SD dan SMP itu. Menurutnya, penerapan pakaian adat untuk siswa itu akan membuatnya terbebani karena harus mengeluarkan biaya untuk pengadaan pakaian adat.

Promosi Jangkau Level Grassroot, Pembiayaan Makro & Ultra Mikro BRI Capai Rp622,6 T

“Ini aturan yang kontroversi. Segaram yang dikelola sekolah katanya dilarang. Sekolah dilarang jual seragam alasannya juga menyusahkan orang tua. Tapi, pengadaan baju adat untuk anak ini lebih menyusahkan. Kalau baju sekolah biasa bisa ngelungsur [dari kakak kelas]. Kalau baju ada kan pasti beli baru,” ujar perempuan yang anaknya duduk di bangku SMP itu, Rabu (9/8/2023).

Ia juga bercerita banyak orang tua siswa SD yang sudah membeli atau memesan baju adat Semarangan. Baju baju adat itu memang harus dibeli baru karena tidak mungkin memakai milik ibu mereka.

“Saya sudah bertemu beberapa orang tua mereka akhirnya harus membeli karena ukuran SD kan spesifik, tidak mungkin menggunakan koleksi ibunya,” imbuhnya.

Ia juga khawatir, aturan ini akan menimbulkan kepentingan baru antara penyedia baju dengan pembuat kebijakan. “Yang dikhawatirkan main mata antara penyedia dengan pembuat kebijakan. Nanti beli di toko X misalnya. Contohnya untuk yang kelas 1-3 SD, kan ukurannya kecil dan hanya tersedia di beberapa toko saja,” jelasnya.

Bahasa Jawa

Rita pun menilai sebenarnya masih banyak cara untuk melestarikan budaya, tidak hanya mewajibkan siswa mengenakan pakaian adat. Upaya melestarikan budaya bisa dilakukan dengan membiasakan sang anak bertutur bahasa Jawa halus dalam keseharian, pengunaan tata krama.

“Itu justru lebih penting dibandingkan mementingkan fashion,” tegasnya.

Namun pendapat berbeda justru disampaikan Noni, 40, warga Gajahmungkur, yang anaknya duduk di bangku SMP Negeri 5 Semarang. Ia tidak keberatan jika nantinya siswa SD dan SMP diwajibkan mengenakan pakaian adat Semarangan.

“Menurut saya bagus. Pemakaian baju adat memang penting, bisa menanamkan kecintaan budaya pada pelajar di tengah gempuran budaya asing yang mulai tertanam pada anak zaman sekarang. Semua sekarang mulai berkiblat ke barat-baratan seperti anak saya,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Dinas Pendidikan Kota Semarang tengah mengkaji kebijakan bagi siswa SD dan SMP untuk mengenakan pakaian adat Semarang sekali dalam sebulan. Kebijakan itu merupakan tindak lanjut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 50/2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan dan Pendidikan Menengah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya