Jateng
Kamis, 26 Oktober 2023 - 17:00 WIB

Pegunungan Kendeng Sekarang: Kisah Orang Samin dan Keunikannya

Nugroho Meidinata  /  Ginanjar Saputra  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kelompok masyarakat yang disebut Sedulur Sikep atau Orang Samin. (Bojonegorokab.go.id)

Solopos.com, SOLO — Kondisi Pegunungan Kendeng sekarang membuat sebagian masyarakat penasaran. Pasalnya, di daerah ini dulu konon dihuni banyak Sedulur Sikep atau yang dikenal juga dengan Orang Samin.

Pegunungan Kendeng yang membentang di bagian utara Jawa ini memiliki panjang sekitar 250 km. Di tengah hijau dan asrinya Pegunungan Kendeng, hidup sebuah kelompok masyarakat yang bernama Sedulur Sikep atau zaman dahulu dikenal dengan Kaum Samin atau Wong Samin.

Advertisement

Sekelompok masyarakat ini bukan lah suku, melainkan masyarakat biasa yang mempunyai sesepuh bernama Eyang Buyut Samin Surosentiko.

Menurut Sugiartono, tokoh masyarakat Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, sebutan Wong Samin ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun, untuk mengelabuhi Belanda, Wong Samin mengubah identitas diri menjadi Sedulur Sikep.

Advertisement

Menurut Sugiartono, tokoh masyarakat Sedulur Sikep di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, sebutan Wong Samin ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun, untuk mengelabuhi Belanda, Wong Samin mengubah identitas diri menjadi Sedulur Sikep.

“Samin itu ajaran Mbah Samin Surosentiko, makanya disebut Samin. Kalau Sedulur Sikep itu saudara yang merengkuh atau memeluk. Tapi kalau di Klopoduwur, bukan Eyang Samin, tapi Eyang Buyut Engkrek. Menurut cerita, Eyang Buyut Engkrak itu murid Eyang Samin,” cerita pria berusia 57 tahun itu dengan bahasa Jawa kepada Solopos.com, Kamis (6/10/2023).

Di tengah kondisi sekitar Pegunungan Kendeng sekarang yang sudah terjamah modernisasi, beberapa ajaran Sedulur Sikep masih terjaga sampai sekarang, salah satunya gaya bicaranya yang khas, yakni seakan-akan seperti orang ngeyel dan membantah.

Advertisement

Namun untuk saat ini, kebiasaan seperti itu hanya digunakan sebagai bahan guyonan. Selain gaya bicaranya, Sedulur Sikep juga dikenal dengan larangan untuk berdagang. Sugiartono pun membenarkan hal tersebut.

Dia bercerita dari penuturan leluhur Sedulur Sikep, berdagang merupakan pekerjaan yang sering diliputi kebohongan sehingga oleh mereka dilarang. Namun, lambat laun kepercayaan tersebut juga menghilang dan ada beberapa warga Sedulur Sikep yang berdagang.

“Begini, menurut cerita [leluhur], berdagang itu kebanyakan berbohong. Bohongnya bagaimana, ngomong kulakan Rp60.000, padahal belum tentu benar dan dijual berapa,” tambah dia.

Advertisement

Oleh karena itu, banyak masyarakat Sedulur Sikep, yang sebagian tinggal di sekitar Pegunungan Kendeng sekarang, yang bekerja sebagai petani. Khusus di Desa Klopoduwur, mereka kebanyakan menggarap lahan yang dimiliki Perhutani.

Meski didukung dengan kondisi alam yang baik terutama di lereng Pegunungan Kendeng sekarang, masyarakat Sedulur Sikep Samin kebanyakan pergi ke luar desa untuk mencari pekerjaan lainnya ketika musim kemarau. Mereka menunggu musim penghujan datang untuk menggarap lahan.

Rata-rata warga Sedulur Sikep Samin pergi ke luar desa ketika musim kemarau untuk bekerja sebagai kuli bangunan.

Advertisement

Bicara mengenai pekerjaan, untuk saat ini Sedulur Sikep Samin terbuka dengan beragam jenis profesi, bukan hanya petani. Bahkan, Sugiartono sekarang bekerja sebagai salah satu pegawai di RSUD Blora.

Anggapan Aneh Sedulur Sikep

Sejumlah kebiasaan aneh Sedulur Sikep, seperti dilarang berdagang, tidak mau sekolah, hingga tidak mau pernikahannya dicatat oleh Kantor Urusan Agama (KUA), perlah-lahan kini sudah menghilang.

Soal pendidikan, ayah dari dua anak itu mengatakan di desanya telah berdiri beragam sekolah, mulai dari TK, SD, hingga MTS. Berbicara soal pencatatan pernikahannya, memang di zaman dahulu, mereka tidak mau mencatatkan pernikahannya di KUA.

Mereka menikah hanya disaksikan dan disahkan oleh orang tua, tanpa petugas keagamaan yang berwenang maupun mencatatkan ke KUA. Hal tersebut dikarenakan dahulu yang memerintah bukan orang Indonesia, tetapi penjajah. Ketika sudah merdeka, mereka pun mau melakukan pencatatan pernikahan di KUA.

Sebagai warga Sedulur Sikep Samin, yang sebagian hidup di Pegunungan Kendeng sekarang, banyak pesan yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat Indonesia. Sugiartono mengatakan hidup itu harus rukun satu sama lain karena semuanya adalah saudara dan semuanya sama di mata Tuhan.

Tak kalah pentignya, dia juga berpesan sebagai manusia harus mempunyai agama. “Yang penting rukun, wong Jawa kan terkenal rukun karena semua saudara. Manusia hidup juga harus punya agama sebagai pegangan. Kalau enggak punya agama, ya bukan manusia itu,” pesan dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif