SOLOPOS.COM - Ilustrasi buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) saat melakukan unjuk rasa kenaikan upah minimum di depan kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah. (Solopos.com/Adhik Kurniawan)

Solopos.com, SEMARANGBuruh di Jawa Tengah (Jateng) yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) merasa kecewa dengan putusan Pejabat (Pj) Gubernur Jateng, Nana Sujadna yang resmi menaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp78.778 atau 4,02%.

Mengingat, kenaikan UMP dengan formula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 ini bakal menjadi landasan atau pertimbangan besaran kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) di 35 daerah pada 30 November 2023 nanti.

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

Sekretaris DPW KSPI Jateng, Aulia Hakim, mengaku kecewa lantaran tuntutan buruh yang menolak PP 51/2023 dan mengusulkan kenaikan upah minimal 15% tidak diakomodir. Selain itu, kenaikan sebesar 4,02% dinilai jauh dari kata hidup layak.

“Kecewa. Cerminan hidup layak di Jateng semakin tertinggal dengan provinsi sebelahnya [Jawa Barat dan Jawa Timur],” kata Aulia kepada Solopos.com, Selasa (21/11/2023) malam.

Aulia juga mempertanyakan kenaikan sebesar Rp78.778 itu sebenarnya ditujukan untuk kalangan mana? Sebab dari catatan KSPI Jateng, kenaikan 4,02% itu masih di bawah angka pertumbuhan ekonomi di Jateng yang mencapai 5,23%.

Oleh sebab itu, Aulia menilai pemerintah masih tunduk dengan para pemodal. Sehingga kenaikan upah masih merujuk pada formula di PP 51/2023 yang menghitung angka inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi dan komponen indeks tertentu yang mana dalam wujudnya nilai alpha atau berbentuk penyerapan tenaga kerja dan produktivitas.

“Terlalu ke kanan putusannya. Perlu ditarik ini agar ke tengah karena logikanya ketika upah naik di bawah itu (5,23%), terus pertumbuhan itu (4,02%) buat siapa? Artinya bermanfaat hanya untuk menengah ke atas, kalangan pengusaha dan pemodal. Itulah kekecewaan kami. Dewan pengupahan di rapat kemarin seperti enggak berfungsi. Kami buruh sudah berikan masukan [tolak PP 51/2023]. Tapi kita lihat kan, pemerintah dan pengusaha satu suara gunakan PP 51/2022,” nilainya.

Aulia pun menambahkan para pekerja swasta padahal setuju bila gaji PNS, TNI, dan Polri naik delapan persen dan pensiuan naik 12%. Namun ia kembali mempertanyakan kenapa ketika swasta meminta kenaikan minimal 15% tidak diakomodir.

“Padahal swasta bayar pajak uang sendiri. Berbeda dengan PNS, TNI, dan Polri [dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)]. Artinya kami juga punya hak dapatkan kenaikan lebih baik,” imbuhnya.

Lebih jauh, Aulia turut mengamini jika kenaikan UMK pada 30 November 2023 mendatang nilainya tak jauh dari UMP karena akan berlandaskan PP 51/2023. Kendati demikian, ia tetap berharap, pemerintah daerah (Pemda) di 35 kabupaten/kota bisa menggunakan hati nuraninya atau setidaknya bisa menaikkan upah di atas pertumbuhan ekonomi.

“Semoga nanti pas UMK terbuka hatinya. Kami hanya bisa berharap, mereka melihat kondusi riilnya. Bakal berat posisi UMK nanti. Ini kami masih punya waktu dua pekan untuk mengawal,” katanya.

Saat ditanya mengenai aksi mogok kerja nasional yang bakal diambil bila akhirnya kenaikan upah di bawah 15%, Aulia menegaskan buruh di 35 kabupaten/kota siap melakukannya. Namun saat ini, KSPI Jateng masih menunggu instruksi lebih lanjut dari pusat atau Presiden KSPI, Said Iqbal.

“Kami masih nunggu instruksi [mogok nasional]. Masih dipertimbangkan langkah apa agar pemerintah mau mempertimbangkan usulan buruh, agar tak tunduk pada pemodal dan koperasi. Arahan sementara, bakal dilakukan mogok kerja nasional dua hari. Tanggalnya di antara akhir November sampai pekan awal Desember,” bebernya.

Diberitakan sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng, Frans Kongi, mengaku tak keberatan dengan kenaikan UMP sebesar 4,02%. Sebab menurutnya, kenaikan upah yang sudah berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 akan memunculkan angka yang sehat berapapun besarannya.

“Ini [4,02%] sistem kenaikan upah yang sehat. Bukan untuk menyenangkan salah satu pihak sesaat saja. Maka saya pikir tidak perlu demikian [mogok kerja] karena tidak menguntungkan bagi siapapun,” nilai Frans.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya