SOLOPOS.COM - Tampak bangunan eks Stasiun Blondo Mungkid, Magelang, yang saat ini sudah beralih fungsi. Foto diambil pada 2020. (beritamagelang.id)

Solopos.com, MAGELANG-Tonggak stasiun Magelang  dimulai dari pembangunan jalur kereta api Yogyakarta–Magelang pada  1 Juli 1898 oleh NISM (Nederlandsch  Indische Spoorweg Maatschappij). Setelah usai,  pembangunan jalur kereta api semakin gencar dilakukan untuk menghubungkan Magelang dengan kota-kota sekitarnya.

Misalnya jalur Magelang-Secang yang beroperasi pada 15 Mei 1903, jalur Secang-Temanggung beroperasi 3 Januari 1907, jalur Secang-Ambarawa beroperasi 1 Februari 1905 dan jalur Temanggung-Parakan beroperasi 1 Juli 1907.

Promosi Simak! 5 Tips Cerdas Sambut Mudik dan Lebaran Tahun Ini

Dipilihnya Magelang menjadi salah satu kota yang masuk dalam radar jaringan transportasi kereta api bukanlah tanpa dasar.  Dengan iklim yang sejuk di bawah gunung Tidar inilah pemerintah kolonial  Belanda membangun basis militer, rumah sakit, sekolah (zending), pusat bisnis,  serta lokasi menjadikan sebagai lokasi rendezvous yang nyaman.

Dalam perkembangannya, jalur Yogyakarta-Magelang pada akhirnya ditutup pada 1976 seiring dengan terpinggirkannya kereta api pasca tumbangnya orde lama serta semakin maraknya transportasi darat lain seperti bus dan truk yang dipandang lebih efisien dan cepat.  Penutupan jalur Yogyakarta – Magelang adalah rangkaian dari penutupan jalur kereta api dari Kedungjati–Tuntang–Ambarawa–Secang–Temanggung–Parakan.

Dikutip dari kemdikbud.go.id pada Kamis (12/10/2023), ketika jalur trem Yogya-Magelang yang diresmikan pada 1 Juli 1893 hendak dibangun, rencana semula adalah menempatkan stasiun Magelang di bagian selatan kota, berdekatan dengan pasar dan Pecinan.

Ini didasarkan pertimbangan bahwa lokasi itu lebih menguntungkan bagi pengangkutan barang. Dari situ akan dibangun jalan rel langsung ke Ambarawa melalui Pasar di Payaman, menghindari pusat kota Magelang.

Namun karena jalur ini juga melayani kebutuhan militer akhirnya Nederlandsch_Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) diharuskan membangun  Stasiun Magelang di bagian utara kota berdekatan dengan  tangsi perwira, sedangkan di dekat pasar hanya dibangun sebuah halte.

Akibatnya jalur rel harus melewati tengah kota berbagi dengan jalan yang lebarnya 6 meter serta menyusuri tepi Alun-alun Magelang. Karena alasan keamanan Residen Kedu menetapkan bahwa kecepatan kereta api ketika melintasi tengah kota dibatasi tidak boleh melebihi 5 kilometer per jam.

Bangunan utama Stasiun Magelang sekarang sudah tidak ada, namun berdasarkan foto-foto lama terlihat bahwa bangunan itu berupa bangunan kayu dengan atap pelana.  Di tempat bangunan ini sekarang berdiri kios-kios menghadap ke Jalan Ahmad Yani.  Jalan ini dulu adalah jalan raya Semarang-Yogyakarta sebelum lalu lintas antar kota dialihkan ke jalan lingkar Magelang (Jalan Urip Sumoharjo).

Di emplasemen Stasiun Magelang  yang kini menjadi Sub-Terminal Kebon Polo ini bangunan yang tersisa adalah gudang dan depo. Bangunan gudang sudah banyak mengalami perombakan sedan dipo yang berada di sisi timur menjadi WC umum.

Menurut Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana, sebagai komunitas pemerhati dan pelestari sejarah dan bangunan cagar budaya di Magelang, menuturkan terdapat banyak stasiun di jalur perlintasan kereta api Magelang-Yogyakarta, yang saat ini kondisinya tidak sama.

“Yang paling istimewa kondisi bangunannya adalah stasiun Mertoyudan, bahkan sampai sekarang masih lengkap dengan bangunan rumah dinas Kepala Stasiun Mertoyudan, di Jl  Mayjen Bambang Sugeng,” ungkap Bagus dikutip dari beritamagelang.id pada Kamis (12/10/2023).

Stasiun Mertoyudan dibangun pada 1898 oleh perusahaan swasta kereta api Hindia Belanda Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pada zaman kejayaannya, stasiun ini ramai oleh masyarakat sekitar, guna bepergian ke Yogyakarta maupun Semarang.

Namun sekitar tahun 1970-an, stasiun-stasiun di jalur tersebut tutup dikarenakan kalah dengan moda transportasi lainnya, seperti bus dan minibus yang berjalan lebih cepat di atas jalan beraspal.

Selain Stasiun Mertoyudan di jalur Magelang tersebut, ada juga Stasiun Japunan Danurejo, Stasiun Blondo, Stasiun Blabak Mungkid, Stasiun Palbapang, Stasiun Muntilan, Stasiun Jumoyo dan stasiun kecil lainnya hingga masuk ke wilayah Yogyakarta.

“Stasiun lainnya di jalur Magelang-Yogyakarta selain Stasiun Mertoyudan kondisinya memprihatinkan, seperti Stasiun Blabak yang sudah dibongkar tinggal tembok belakangnya saja. Bahkan stasiun lainnya sudah tidak ada wujud bangunannya,” papar Bagus.

Adapun untuk Stasiun Blondo, meskipun masih berdiri, namun separuh lebih bangunan sudah diubah. Meskipun di beberapa bagian bangunan masih dijumpai ornamen khas bangunan Belanda, seperti daun jendela, kusen pintu, dan kerangka bangunan.

“Bangunannya sudah berubah, sekilas sudah tidak menampakkan bangunan bekas stasiun. Namun jika diperhatikan masih ada unsur peninggalan Belanda seperti jendela dan kusen pintu,” tandas Bagus.

Saat ini bekas Stasiun Blondo sudah beralih fungsi sebagai tempat pijat termasuk sekitar rel kereta api sudah dikepung rapat oleh bangunan pemukiman penduduk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya