SOLOPOS.COM - Pakar ekonomi UKSW Salatiga, Prof Gatot Sasongko. (Solopos.com-Hawin Alaina)

Solopos.com, SALATIGA – Sepinya pasar pakaian jadi rupanya tidak hanya terjadi di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Kondisi serupa juga terjadi di Pasar Raya II Salatiga, yang sejak beberapa bulan terakhir mengalami penurunan jumlah pembeli dan pengunjung.

Menanggapi hal itu, pakar ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Prof. Gatot Sasongko, menilai hal itu disebabkan beberapa faktor. Ia menilai maraknya penjualan online tidak bisa dijadikan satu-satunya kambing hitam atas sepinya pembeli di pasar.

“Kalau dampak [sepinya pembeli di pasar] karena e-commerce itu hanya salah satu penyebab. Yang utama adalah adanya pergeseran pola konsumsi di masyarakat. Berbelanja tidak hanya dalam bentuk barang,” ungkap Prof Gatot saat ditemui Solopos.com di Salatiga, Kamis (21/9/2023).

Dijelaskan, saat ini masyarakat tidak menghabiskan uangnya hanya untuk membeli barang. Namun masyarakat cenderung konsumtif untuk makan dengan mengajak keluarga ataupun koleganya. Jika ke mal, masyarakat pun sekarang juga lebih memilih melakukan aktivitas hiburan seperti nonton film ataupun olahraga.

Alasan kedua, kata Prof Gatot, sepinya pembeli di mal ataupun pasar karena maraknya mal dengan fasilitas yang lengkap. Masyarakat saat ini lebih memilih datang ke mal bukan untuk berbelanja, tapi hanya sekadar mencari hiburan.

Selain itu, ada fenomena dari sisi konsumen yakni kenyamanan saat berbelanja. Pasar atau mal yang aksesnya terlalu ramai kendaraan atau keterbatasan lahan parkir membuat konsumen enggan berkunjung, sehingga mereka pun memilih berbelanja secara online yang menawarkan segala bentuk kemudahan.

Fasilitas Pendukung

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang bisa menjadi solusi untuk kembali mendongkrak minat masyarakat agar berbelanja secara langsung. Pertama, yang bisa dilakukan pemerintah setempat adalah membuat fasilitas di pasar ataupun mal lebih lengkap, dengan menambah wahana permainan, olahraga, atau menonton film.

“Akses kendaraan harus mudah di pusat perbelanjaan. Konsumen harus dibuat nyaman dengan parkir misalnya dan fasilitas yang lebih menarik,” kata Prof Gatot.

Selain itu, ada ciri khas berbelanja secara langsung yang tidak bisa didapatkan jika berbelanja secara daring, yaitu relasi sosial antara pembeli dan pedagang. Hal itu harus dipertahankan para pedagang.

“Adanya tawar-menawar harga menjadi hal yang tidak didapatkan membeli di e-commerce. Itu yang harus dijaga,” terang dia.

Sementara itu untuk pengelola pasar atau mal agar mendongkrak pembeli datang adalah tidak mengambil untung dari sewa kios secara berlebihan. Sebab kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk mengambil untung secara besar.

“Ini yang harus dicermati pusat perbelanjaan. Ya jangan cari untung terlalu cepat. Karena situasinya belum bisa seperti itu. Jika kalau sewanya Rp1 juta per meter persegi, ini istilahnya pasar baru bertumbuh yang tentu akan mengalami kesulitan. Nah apalagi bertanding dengan e-commerce yang memberikan diskon,” tandas Prof Gatot.

Rekomendasi
Berita Lainnya