SOLOPOS.COM - Suasana perang air atau dikenal dengan Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (3/3/2024) sore. (Solopos.com/Adhik Kurniawan).

Solopos.com, SEMARANG – Ratusan orang warga Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), menyambut bulan Ramadan dengan perang air atau dikenal sebagai Gebyuran Bustaman, Minggu (3/3/2024) sore. Tradisi tahunan ini tak hanya diikuti oleh warga setempat, tetapi juga wisatawan luar Kota Lumpia.

Terlihat ratusan katong air berwarna-warni sudah disiapkan warga dengan digantungkan di atas atap maupun diletakkan di ember masing-masing. Kemudian warga sekitar maupun wisatawan yang datang, wajahnya bakal dioles dengan bedak berwarna yang bermakna dosa atau kesalahan selama setahun ke belakang.

Promosi Siap Layani Arus Balik, Posko Mudik BRImo Hadir di Rute Strategis Ini

Selain itu, tradisi Gebyuran Bustaman juga dilakukan secara simbolis dengan memandikan anak-anak. Sementara kantong air bewarna yang sebelumnya sudah disiapkan, merupakan amunisi untuk perang air.

Sepanjang acara berlangsung, bungkusan plastik berisi air itu dilemparkan ke warga lainnya tanpa pandang bulu, baik usia maupun statusnya. Dengan kata lain, warga bebas melemparkan air kepada warga lainnya tanpa memandang kelompok, usia, maupun statusnya.

Tokoh setempat, Hari Bustaman, mengatakan air yang dilemparkan dalam bentuk balon berwarna memiliki makna bahwa telah memaafkan kesalahan satu sama lain. Oleh sebab itu, tradisi ini memiliki makna menghapus segala dosa selama setahun ke belakang sebelum akhirnya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

tradisi perang air di semarang
Suasana perang air atau dikenal dengan Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (3/3/2024) sore. (Solopos.com/Adhik Kurniawan)

“Corat-coret [wajah] lambang dosa dan kesalahan. Nah gebyuran [perang air atau Bustaman] implementasi membersihkan dosa-dosa,” kata Hari di sela-sela acara, Minggu.

Sesepuh berusia 79 tahun itu menceritakan, Gebyuran Bustaman adalah adat yang sudah ada sejak 281 tahun silam. Namun, sempat berhenti hingga akhirnya kembali dilestarikan dan digelar setiap tahun sejak 2012 lalu.

“Ini sebagai wujud nguri-nguri tradisi Ulama Kiai Kertoboso Bustam atau Mbah Bustam. Dan ini merupakan agenda yang ke-17 setelah sempat berhenti. Pelaksanaanya tiap hari Minggu sebelum puasa,” terangnya.

Salah seorang wisatawan, Alfan, 19, mengaku sengaja datang jauh-jauh dari Pekalongan karena penasaran dengan tradisi Gebyuran Bustaman. Ia tiba di Kota Semarang bersama ketiga temannya pada Sabtu (2/3/2024) malam.

“Tahu dari media sosial dan baru kali ini [datang ke Gebyuran Bustaman]. Pengen ikutan tradisinya karena penasaran sih, soalnya kayaknya seru,” pungkas Alfan.

Di penghujung kemeriahan, tradisi ini diakhiri dengan acara makan bersama. Menu makanan tahun ini adalah daging kambing ungkep yang diolah masyarakat dan disantap bersama-sama.

Sekadar informasi, Gebyuran Bustaman berasal dari kebiasaan Kiai Bustaman dalam memandikan cucunya menjelang Ramadan atau bulan puasa. Awalnya, Gebyuran Bustaman juga hanya digelar dengan menyiramkan air yang diambil dari sumur petilasan Kiai Bustaman kepada tokoh yang ditunjuk warga.

Kendati demikian, seiring berkembangnya zaman, Gebyuran Bustaman mengalami modifikasi. Gebyuran Bustaman tidak hanya sebatas menyiramkan air, tapi diisi dengan ritual perang air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya