Jateng
Minggu, 3 Maret 2024 - 18:18 WIB

Tradisi Unik! Warga Bustaman Semarang Gelar Perang Air untuk Menyambut Ramadan

Adhik Kurniawan  /  Abdul Jalil  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana perang air atau dikenal dengan Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (3/3/2024) sore. (Solopos.com/Adhik Kurniawan).

Solopos.com, SEMARANG – Ratusan orang warga Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), menyambut bulan Ramadan dengan perang air atau dikenal sebagai Gebyuran Bustaman, Minggu (3/3/2024) sore. Tradisi tahunan ini tak hanya diikuti oleh warga setempat, tetapi juga wisatawan luar Kota Lumpia.

Terlihat ratusan katong air berwarna-warni sudah disiapkan warga dengan digantungkan di atas atap maupun diletakkan di ember masing-masing. Kemudian warga sekitar maupun wisatawan yang datang, wajahnya bakal dioles dengan bedak berwarna yang bermakna dosa atau kesalahan selama setahun ke belakang.

Advertisement

Selain itu, tradisi Gebyuran Bustaman juga dilakukan secara simbolis dengan memandikan anak-anak. Sementara kantong air bewarna yang sebelumnya sudah disiapkan, merupakan amunisi untuk perang air.

Sepanjang acara berlangsung, bungkusan plastik berisi air itu dilemparkan ke warga lainnya tanpa pandang bulu, baik usia maupun statusnya. Dengan kata lain, warga bebas melemparkan air kepada warga lainnya tanpa memandang kelompok, usia, maupun statusnya.

Advertisement

Sepanjang acara berlangsung, bungkusan plastik berisi air itu dilemparkan ke warga lainnya tanpa pandang bulu, baik usia maupun statusnya. Dengan kata lain, warga bebas melemparkan air kepada warga lainnya tanpa memandang kelompok, usia, maupun statusnya.

Tokoh setempat, Hari Bustaman, mengatakan air yang dilemparkan dalam bentuk balon berwarna memiliki makna bahwa telah memaafkan kesalahan satu sama lain. Oleh sebab itu, tradisi ini memiliki makna menghapus segala dosa selama setahun ke belakang sebelum akhirnya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Suasana perang air atau dikenal dengan Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (3/3/2024) sore. (Solopos.com/Adhik Kurniawan)

“Corat-coret [wajah] lambang dosa dan kesalahan. Nah gebyuran [perang air atau Bustaman] implementasi membersihkan dosa-dosa,” kata Hari di sela-sela acara, Minggu.

Advertisement

“Ini sebagai wujud nguri-nguri tradisi Ulama Kiai Kertoboso Bustam atau Mbah Bustam. Dan ini merupakan agenda yang ke-17 setelah sempat berhenti. Pelaksanaanya tiap hari Minggu sebelum puasa,” terangnya.

Salah seorang wisatawan, Alfan, 19, mengaku sengaja datang jauh-jauh dari Pekalongan karena penasaran dengan tradisi Gebyuran Bustaman. Ia tiba di Kota Semarang bersama ketiga temannya pada Sabtu (2/3/2024) malam.

“Tahu dari media sosial dan baru kali ini [datang ke Gebyuran Bustaman]. Pengen ikutan tradisinya karena penasaran sih, soalnya kayaknya seru,” pungkas Alfan.

Advertisement

Di penghujung kemeriahan, tradisi ini diakhiri dengan acara makan bersama. Menu makanan tahun ini adalah daging kambing ungkep yang diolah masyarakat dan disantap bersama-sama.

Sekadar informasi, Gebyuran Bustaman berasal dari kebiasaan Kiai Bustaman dalam memandikan cucunya menjelang Ramadan atau bulan puasa. Awalnya, Gebyuran Bustaman juga hanya digelar dengan menyiramkan air yang diambil dari sumur petilasan Kiai Bustaman kepada tokoh yang ditunjuk warga.

Kendati demikian, seiring berkembangnya zaman, Gebyuran Bustaman mengalami modifikasi. Gebyuran Bustaman tidak hanya sebatas menyiramkan air, tapi diisi dengan ritual perang air.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif